Thursday, June 16, 2016

Masjid Laweyan: Gerbang Islam Di Kota Bengawan

 masjid tertua di kota Surakarta ini masih berdiri dengan kokohnya Masjid Laweyan: Gerbang Islam di Kota Bengawan

 masjid tertua di kota Surakarta ini masih berdiri dengan kokohnya Masjid Laweyan: Gerbang Islam di Kota Bengawan


 masjid tertua di kota Surakarta ini masih berdiri dengan kokohnya Masjid Laweyan: Gerbang Islam di Kota Bengawan

Meski usianya sekarang mendekati lima abad, masjid tertua di kota Surakarta ini masih berdiri dengan kokohnya. Masjid dengan arsitektur  perpaduan antara Jawa, Cina dan Islam tersebut merupakan saksi bisu sejarah perjalanan dakwah Islam di Kota Solo.
Pada awalnya berupa pura, daerah ibadah agama Hindu. Namun, seiring dengan keberhasilan dakwah Islam, bangunan itu diubah fungsinya menjadi sebuah masjid. Itulah Masjid Laweyan. Masjid ini menjadi pintu masuknya Islam di Kota Bengawan.
Masjid seluas 162 Meter Persegi tersebut dibangun pada tahun 1546 dikala Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang. Artinya, pendirian masjid ini mendahului terbentuknya Kota Solo itu sendiri, yakni tahun 1745. Menurut sebuah informasi, masjid ini memakai paku-paku emas untuk menyambungkannya. Ketua Ta’mir Pelaksana, H. Ahmad Sulaiman, menyampaikan bahwa Masjid Laweyan merupakan salah satu Masjid Negara dengan SK Bung Karno.
Di belakang masjid terpisah, terdapat komplek makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Surakarta. Di antaranya terdapat makam Kyai Ageng Henis, Paku Buwono II, Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu (pujangga Keraton Surakarta ), Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX, Kyai Ageng Proboyekso dan Ki Ageng Beluk.
Masjid Laweyan terletak di Dusun Belukan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Solo. Nama Kampung belukan diambil dari kata beluk yang berarti asap. Konon dengan banyaknya rakyat yang memeluk agama Islam, berdiri pula sebuah pesantren yang pengikutnya banyak. Karena banyaknya santri yang menjadi pengikut maka pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi dan selalu keluarlah asap dari dapur pesantren.
Sebelumnya, tanah bangunan masjid ini ialah milik Ki Ageng Beluk, seorang pemimpin spiritual umat Hindu di Laweyan yang kemudian masuk Islam sesudah didakwahi oleh sobat Sunan Kalijaga, yakni Ki Ageng Henis. Sanggar Hindu milik Ki Beluk pun kemudian diubah menjadi sebuah langgar (mushala) sebagai daerah beribadah umat Islam.
Ki Ageng Henis merupakan Putra dari Ki Ageng Sela yang masih keturunan Raja Brawijaya, artinya masih keturunan raja-raja Majapahit. Kakek kandung Paku Buwono (PB) II inilah yang kemudian menurunkan raja-raja dinasti Mataram Islam di Jawa Tengah kala itu.
Masjid Laweyan menjadi pionir perkembangan Islam di Surakarta waktu itu. Kegiatan-kegiatan dakwah berjalan begitu massif sehingga warga masyarakat pun berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Pada masa usaha melawan penjajahan Belanda, Masjid Laweyan memperlihatkan peranan yang begitu strategis. Selain sebagai rumah ibadah, masjid ini juga dipakai sebagai daerah berkumpul dan menyiasati perlawanan terhadap penjajah. Masjid ini pun dijadikan oleh para ulama sebagai daerah untuk memompa semangat jihad kaum Muslim dikala itu.
Sebagaimana penuturan Ahmad Sulaiman, pejuang yang berhasil menerima simpulan hidup syahid pertama ketika berperang melawan Belanda di wilayah Surakarta ialah berasal dari jamaah Masjid Laweyan tersebut. Mujahid itu ialah seorang perjaka berjulukan Ahmad Hanani.
Masjid ini juga menjadi basis bagi organisasi Hizbullah divisi Sunan Bonang, sebuah Laskar Islam pencetak para pejuang gagah berani. Selain mempunyai fisik kuat, mereka juga dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap. Anggotanya dikenal mempunyai kesadaran tinggi bahwa mereka harus benar-benar melenyapkan campur tangan orang-orang kafir dari Nusantara, baik orang-orang Belanda, pengkhianat yang ateis komunis, para antek-antek Belanda maupun orang-orang yang berafiliasi atau membantu mereka.
Tokoh besar pejuang Islam lainnya yang begitu identik dengan Masjid Laweyan ialah Kiai Haji Samanhudi. Beliau merupakan tokoh pergerakan nasional Indonesia yang juga merupakan pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada masa itu, Laweyan mempunyai tugas politik yang cukup besar, alasannya juga ditopang oleh kekuatan ekonomi yang sangat besar  melalui kerajinan batiknya.
Selain memupuk jiwa berdagang, memberi proteksi kepada para anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi, memajukan pengajaran, SDI begitu aktif menebar dakwah Islam, menggalang persatuan umat Islam khususnya dalam memajukan kehidupan umat Islam yang berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Setelah dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, SDI berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI). Tujuannya semoga ruang gerak lebih luas, tidak hanya lebih banyak didominasi bergerak di bidang ekonomi, tetapi juga bidang politik. Organisasi rintisan Kiai Samanhudi ini pun menjadi organisasi yang begitu disegani di Indonesia.
Pasca kemerdekaan, acara dakwah terus berlanjut. Masjid Laweyan terus menjadi salah satu sentra acara dan penyebaran dakwah Islam di Solo.
Hingga kini, Masjid Laweyan tetap makmur. Beberapa acara syiar Islam menyerupai pengajian akbar, pengajian umum, Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), serta kegiatan-kegiatan keislaman lainnya terus diselenggarakan.

No comments:

Post a Comment