Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrah-man yaitu salah satu masjid besar peninggalan masa Kesultanan Pontianak. Masjid ini didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman saat pertama kali membuka daerah hutan persimpangan tiga Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas tahun 1771. Tempat itu kini dikenal sebagai kota Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman juga membangun istana tak jauh dari masjid ini yang dikenal dengan nama Istana Kesultanan Kadriyah.
Syarif Abdurrahman al-Qadrie yaitu seorang keturunan Arab, anak Syarif Husein bin Ahmad al-Qadrie, seorang ulama dari negeri Trim Ar-Ridha Hadralmaut (Timur Tengah), penyebar agama Islam dari Semarang (Jawa Tengah). Al-Habib Husein tiba ke Kerajaan Matan (kini Kabupaten Ketapang) pada 1733 Masehi. Al-Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan, Sultan Kamaludin, berjulukan Nyai Tua, dan ia diangkat sebagai mufti kerajaan. Dari ijab kabul itu ia mempunyai lima orang anak, di antaranya Syarif Abdurahman al-Qadrie yang lahir tahun 1471.
Dalam perkembangannya kemudian, terjadi perselisihan paham antara Sultan Kamaludin dan al-Habib Husein wacana eksekusi terhadap nakhoda. Akhirnya, al-Habib tetapkan untuk meninggalkan Kerajaan Matan, pindah ke Kerajaan Mempawah dan bermukim di kerajaan tersebut. Di kerajaan itu ia diangkat sebagai patih oleh Opu Daeng Manambon hingga ia meninggal dunia. Setelah al-Habib Husein meninggal dunia, posisinya digantikan oleh anaknya. Syarif Abdurrahman. Akan tetapi, Syarif Abdurrahman kemudian tetapkan pergi dari Mempawah dengan tujuan untuk membuatkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman melaksanakan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Rombongan Abdurrahman hingga di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian ia membuka dan menebas hutan di erat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru, termasuk bangunan masjid dan istana, dan membentuk Kesultanan Kadriyah Pontianak.
Sultan Syarif Usman (1819-1855 M), sultan ke-3 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang pertama kali meletakkan pondasi bangunan masjid sekitar tahun 1821 M/1237 H. Bukti bahwa masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman sanggup dilihat pada inskripsi abjad Arab yang terdapat di atas mimbar masjid yang menunjukan bahwa Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharam tahun 1237 Hijriah. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya menyerupai yang kini ini.
Sejak masjid ini didirikan, selain berfungsi sebagai sentra ibadah, pelaksanaan acara-acara keagamaan, juga dipakai sebagai basis penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Kawasan sekitar sentra pemerintahan Kesultanan Pontianak yang terletak di pinggiran Sungai Kapuas, Kampung Kapur, Kampung Bansir, Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental efek agama Islam. Di daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang berjulukan Djafar, Pada zaman tersebut ia salah seorang yang termasyhur. Sultan Pontianak Syarif Muhammad Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi guru ngaji di lingkungan Keraton Kadriyah Pontianak. Sejak Sultan Abdurrahman hingga dengan Sultan Yusuf, para sultan ini bertindak sendiri sebagai guru agama. Kemudian sesudah masa sultan Muhammad al-Qadrie (putra Sultan Yusuf) diangkatlah secara resmi oleh Sultan guru-guru agama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama di masjid.
Peranan ulama yang begitu besar terhadap perkembangan pendidikan tidak hanya pada pendidikan formal, tetapi pada pendidikan non-formal. Ulama yang besar lengan berkuasa membentuk pendidikan pada masa tahun enam puluhan dan hingga delapan puluhan di Pontianak antara lain: Haji Ismail bin Abdul Karim alias Ismail Mundu (Mufti Kerajaan Kubu); Syech Abdullah Zawawi (Mufti Kerajaan Pontianak); Syech Syarwani; Habib Muksin Alhinduan (Tharekat Naksabandiyah); Syech H.Abdurani Mahmud (Ahli Hisab); Habib Saleh Alhaddat; Haji Abdus Syukur Badri alias Haji Muklis; Haji Ibrahim Basyir alias Wak Guru.
Ulama-ulama yang besar lengan berkuasa tersebut telah memberi warna keislaman melalui fatwa yang disampaikan menjadi pedoman bagi para murid-muridnya yang ada, baik menjadi ulama maupun pendidik guna mengembangkan syiar Islam di Kalimantan Barat.
Selain bertugas sebagai guru agama, para ulama juga bertindak sebagai imam besar masjid, sedangkan khatibnya yaitu para sultan sendiri, sementara untuk bilal masjid diangkat petugas-petugas khusus. Keberadaan istana juga tidak sanggup dilepaskan dengan masjid. Karena itu, Sultan juga mengangkat orang-orang yang mengerti dan mengurusi seluk-beluk keagamaan. Sultan pernah membentuk tim khusus yang memantau bulan untuk mengetahui “hilal” guna memilih awal atau simpulan bulan Ramadhan. Mengingat pada pendahulu istana yang instens dalam membuatkan agama Islam dengan prinsip-prinsip Islam yang tinggi, maka sangatlah mungkin bahwa Masjid Sultan Abdurrahman merupakan wadah pengembangan kebudayaan dan penyebaran Islam di masa kemudian dan tidak hanya terbatas pada kegiatan peribadatan saja.
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/
No comments:
Post a Comment