Saturday, October 1, 2016

Matematika Ramah Keluarga


Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa.  Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda?  Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di dingklik sekolah?  Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda mencicipi gunanya di kehidupan sehari-hari, dan bawah umur Anda bersemangat mempelajarinya?

Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata.  Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua bawah umur yang menuntut ilmu, di mana saluran sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.

Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menimbulkan matematika “ramah keluarga” ini ialah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).

Masa dewasa Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui.  Yang terang beliau kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun ialah politisi yang sangat antusias dengan kecerdikan dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi pertanda diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga bisa memecahkan banyak sekali duduk kasus rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga sanggup dipelajari oleh anak sekolah dasar.

Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga sanggup diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu mempunyai judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku wacana teknik berhitung dengan angka India, wacana bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Algoritma risikonya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa).  Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan).  Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), alasannya ialah teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang bisa menghitung obyek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma ialah judul buku Mesir kuno ibarat Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, hingga risikonya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya ialah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana abjad Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

 

Salah satu halaman di Kitab Al-Khawarizmi.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India berjulukan Kankah mengunjungi al-Mansur.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya beliau terbukti bisa menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur kemudian memerintahkan biar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian biar dibentuk sebuah aliran untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari kemudian menciptakan aliran ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, beliau masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, alasannya ialah angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan risikonya oleh ibu-ibu rumah tangga dan bawah umur mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini kemudian disebut “Angka Arab”.  Matematika risikonya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi wacana geometri daripada memikirkan aplikasi mudah capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari bundar dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini ketika dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.

Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu berdiri geometri (ellips, parabola atau hiperbola) kemudian pertanyaannya berapa luas atau keliling berdiri tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban.  Pada ketika yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah digunakan menghitung duduk kasus serumit ini.  Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan jikalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan kemudian diselesaikan.  Inilah aljabar.

Hitungan ini kemudian digunakan untuk menciptakan banyak sekali benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV.  Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan digunakan untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian digunakan oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.

Sumber : http://www.mediaumat.com/

 

No comments:

Post a Comment