Dr. Fahmi Amhar
Apakah ilmu yang paling utama untuk dipelajari umat Islam? Dalam beberapa kali seminar ihwal peradaban Islam, di mana disampaikan banyak sekali prestasi sains dan teknologi umat Islam di masa Khilafah, sering muncul pertanyaan, “apakah itu ilmu-ilmu yang paling utama, yang akan mendekatkan kita kepada Allah?”
Di sisi lain ada fenomena di antara calon mahasiswa (Muslim) yang resah ketika menentukan jadwal studi di perguruan tinggi tinggi. Ada di antara mereka yang bertanya, “Ustadz, keahlian apa yang paling utama kalau nanti Khilafah tegak kembali, aku ingin mengambil jadwal studi itu saja”. Sementara itu ada fenomena, sebagian mahasiswa Muslim di universitas favorit - justru mereka yang berprestasi - telah menentukan berhenti kuliah dengan alasan mereka merasa telah “tersesat”, lantaran berguru ilmu-ilmu “sekuler” (seperti kedokteran atau teknik), sementara ilmu-ilmu yang terkait kebahagiaan dunia dan darul abadi (yaitu ilmu-ilmu agama) belum cukup mereka teguk.
Di dunia pendidikan sendiri rupanya, soal ilmu apa yang paling utama diajarkan ke anak didik ini, masih terus diperdebatkan. Anak-anak sekolah dasar kita tampak kelebihan beban, bahkan dalam arti harfiah. Di beberapa sekolah dasar Islam, tas ransel yang dibawa siswa SD itu sangat berat. Untuk pelajaran bahasa saja, mereka harus berguru empat bahasa: Indonesia, Inggris, Arab dan bahasa daerah. Kementerian Pendidikan bermaksud memangkas sejumlah pelajaran, bahkan termasuk IPA yang akan dimasukkan ke pelajaran Matematika, dan IPS akan dimasukkan ke pelajaran Bahasa Indonesia.
Maka menyerupai apakah para ulama terdahulu itu mencari ilmu dan mengetahui ilmu yang paling utama itu, sehingga kemudian mereka bisa menguasai sains dan teknologi pada usia yang sangat muda dan sangat produktif menghasilkan kreasi-kreasi gres pada zamannya?
Kita harus melihat bahwa keadaan masyarakat zaman Khilafah masih tegak dengan kini sangatlah berbeda.
Pada masa itu, pendidikan masih mempunyai visi dan misi yang sangat jelas. Mereka ingin mencetak generasi hamba Allah yang taat, menjadi umat terbaik untuk dihadirkan ke tengah manusia, dan cakap memberi rahmat ke seluruh alam. Oleh alasannya ialah itu, seluruh pelajaran dan bidang ilmu dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi diarahkan ke sana.
Dari segi prioritas juga sangat jelas: amal yang fardhu ‘ain bagi seseorang, maka mempelajari ilmunya juga fardhu ’ain. Amal yang fardhu kifayah, ilmunya juga fardhu kifayah. Amalan sunnah, ilmunya juga sunnah. Demikian seterusnya untuk yang mubah, makruh dan haram. Karena itu, berguru cara menciptakan khamr atau ilmu tenung, hukumnya terang haram.
Adapun ilmu yang fardhu ‘ain itu cukup banyak. Ilmu ihwal tatacara ibadah mahdhoh (thaharah, shalat, puasa) atau ihwal keyakinan dasar, mengetahui halal-haram sehari-hari, membaca Alquran, bahasa Arab dasar, itu fardhu dipelajari sebelum seseorang baligh. Untuk perempuan hamil, ialah fardhu ‘ain berguru soal tatacara merawat dan menyusui bayi. Orang yang akan diangkat dalam suatu jabatan atau memangku sebuah profesi, maka fardhu ‘ain baginya mempelajari segala sesuatu yang terkait jabatan atau profesi itu. Tidak bisa diterima orang yang diangkat sebagai sekretaris tapi belum bisa membaca atau menulis. Atau orang diangkat sebagai kepala tempat tapi buta soal geografi, hukum, seluk beluk birokrasi atau wawasan politik.
Di sisi lain, sebagian besar ilmu bergotong-royong masuk kategori fardhu kifayah. Ilmu keyakinan dalam kedalamannya, ilmu fiqih dan ushul fiqih dalam kedalamannya, ilmu tafsir dan hadits, ilmu mengurus jenazah, bahasa dan sastra Arab, dan juga sains dan teknologi dalam kedalamannya, mulai dari teknik menciptakan sumur hingga merancang pesawat, dari menjahit baju hingga menjahit luka sebagai dokter bedah, ialah ilmu-ilmu yang bila di suatu wilayah tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan umat, maka semua yang belum terlibat masih berdosa.
Oleh alasannya ialah itu menjadi jelas, bahwa ilmu yang paling utama untuk diajarkan di pendidikan dasar ialah ilmu-ilmu fardhu ‘ain untuk menyambut bakir baligh. Termasuk yang ditanamkan semenjak dini ialah kecintaannya pada ilmu, pada para ilmuwan, dan pada proses pembelajaran. Wahyu pertama ialah soal membaca, bab paling penting dalam belajar.
Dan itu pula yang terjadi dengan para ilmuwan di masa lalu. Nyaris seluruhnya bahkan telah hafal Quran sebelum 10 tahun. Sedang bahasa Arab telah menjadi bahasa sehari-hari semenjak Negara Khilafah melayani tempat kelahirannya. Sedang minat mereka dalam mencari ilmu telah menyala-nyala. Sebagian mereka bahkan sudah merampungkan ilmu fardhu ‘ain-nya jauh sebelum baligh (yang paling lambat usia 15 tahun), sehingga mereka sudah bisa fokus pada banyak sekali ilmu fardhu kifayah yang diperlukan umat.
Maka bisa dipahami bahwa tokoh-tokoh menyerupai Ibnu Sina (980-1037), al-Idrisi (1100–1165), Ibn Battutah (1305-1368) dan Mimar Sinan (1489-1588), itu jumlahnya ketika itu tidak sedikit.
Ibnu Sina di usia 10 sudah hafal Quran dan kitab-kitab kuno. Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmatika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang populer sebagai filosof dan matematikawan. Tapi tak usang kemudian terbukti sang murid lebih pintar dari gurunya. Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan pemberian kitab syarah. Selesai kitab Euklid, ia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur ketika itu. Itupun tidak lama. Dia kemudian pindah ke fisika, kemudian di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran. Dia diminta membaca buku yang tersulit. Belakangan ia katakan kedokteran tidak sulit, lantaran ia hanya butuh waktu singkat. Saat menamatkan semua ini, usianya gres 16! Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana. Dia menambah ilmunya lagi dengan berguru di perpustakaan sultan dan di rumah sakit. Di usia 18, ia benar-benar menamatkan semua yang sanggup dipelajarinya.
Al-Idrisi pada usia muda ia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi. Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, ia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini kuat di Barat sehingga diterjemahkan menjadi “Geographia Nubiensis”.
Sedang Ibn Battutah ialah ulama, qadhi, penjelajah dan geografer. Hingga wafatnya ia telah melawat sejauh 117.000 km, mencakup seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, semenjak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga Cina. Total 44 negara modern telah ia jelajahi, jauh melampaui penjelajah paling top hingga ketika itu yaitu Marco Polo. Dan ia memulainya pada usia 20 tahun!
Kemudian Mimar Sinan, arsitek Daulah Utsmaniyah ketika wafat pada usia hampir 100 tahun, ternyata telah membangun 94 masjid besar, 52 masjid kecil, 57 sekolah tinggi, 48 pemandian umum (hamam), 35 istana, 20 rest area (caravanserai), 17 dapur umum (imaret), 8 jembatan besar, 8 gudang logistik (granisaries), 7 sekolah Alquran, 6 susukan air (aquaduct), dan 3 rumah sakit.
Orang-orang ini telah berhasil mempelajari ilmu dari yang paling utama, di negeri yang menerapkan politik yang utama.
Sumber : http://www.mediaumat.com/
No comments:
Post a Comment