Thursday, June 16, 2016

Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam

Berbicara ihwal penyebaran Islam di Nusantara tidak akan sanggup dilepaskan dengan kiprah se Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam

Berbicara ihwal penyebaran Islam di Nusantara tidak akan sanggup dilepaskan dengan kiprah sentral Masjid. Ini alasannya yaitu memang masjid bukan sekadar menjadi daerah peribadatan ritual semata menyerupai kini ini, namun juga menjadi pusat pemerintahan. Masjid dipakai juga sebagai sarana atau daerah mengurusi permasalahan umat, mulai dari perang, ekonomi maupun penyelesaian persengketaan antarmasyarakat.
Demikian juga Masjid Agung Demak. Masjid yang tergolong masjid tertua di Indonesia ini juga dipakai sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Demak. Masjid yang berada di Glagahwangi ini didirikan pada tahun 1388 Saka atau bertepatan dengan 1466 Masehi. Ini terlihat dari goresan pena yang terukir di “Pintu Bledeg” masjid tersebut.
Kehadiran Masjid Demak mustahil diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingya kekuasaan politik bagi kelangsungan dakwah menyadarkan para walisongo untuk terlibat dalam percaturan politik;1 seperti Sunan Kudus sebagai panglima perang yang menggantikan Sunan Ngudung ketika menyerang Majapahit dan dibantu oleh para wali yang lain.

Berbicara ihwal penyebaran Islam di Nusantara tidak akan sanggup dilepaskan dengan kiprah se Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam

Pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah sanggup dilihat juga pada proses pendiriran masjid Demak yang didirikan oleh para wali sebagai pusat dakwah, namun tidak menyerupai dengan mesjid lain pada umumnya. Hal ini alasannya yaitu Masjid Demak yaitu masjid Keraton yang pengelolaanya eksklusif di bawah sultan yang bertahta.3
Masjid Demak dijadikan pusat peradilan. Peranan Masjid Demak tampak terlihat dari kiprah Kesultanan Demak dalam perjuangan dakwah memanggil dan mengadili Syekh Siti Jenar yang mengembangkan pedoman sesat; ia mengajarkan penyatuan Pencipta dengan makhluk-Nya. Ujungnya, Syekh Siti Jenar mengklaim bahwa dirinya sebagai titisan dari sang Pencipta. Ajaran ini mengakibatkan keresahan politis dan sesat dalam pandangan Islam. Proses peradilan Siti Jenar dilaksanakan di depan sidang walisongo yang berfungsi sebagai penasihat Sultan di Masjid Agung Demak.
Peranan wali tampak sangat lebih banyak didominasi pada masa Demak-Pajang sampai Mataram awal. Sunan Kudus yang sangat besar lengan berkuasa pada waktu itu menetapkan pengganti Sultan Hadawijaya bukan Pangeran Benawa (putra Sultan). Sunan Kudus justru menunjuk Arya Pangiri (seorang menantu Sultan yang pada dikala itu menjabat adipati Demak) untuk menduduki tahta Pajang. Prosesi ini juga berlangsung di kompleks Masjid Agung Demak.

Berbicara ihwal penyebaran Islam di Nusantara tidak akan sanggup dilepaskan dengan kiprah se Mesjid Demak: Mercusuar Politik Islam

Memang menjadi sebuah kebiasaan bahwa dalam struktur sejarah Kesultanan Islam, lokasi Masjid berdekatan dengan pusat pemerintahan dan alun-alun (Lapangan). Karena itu, Masjid Demak menjadi cuilan yang tidak terpisahkan dari politik Islam. Bahkan walisongo sering bermusyawarah mengenai urusan masyarakat Demak di masjid ini.
Tatkala Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan pada tahun 1479 M, Sang Sultan menjadikan Salokantara dan Jugul Muda Kitab Undang-undang Kesultanan yang berisi ihwal hukum-hukum syariah Islam. Namun, perilaku toleran ditunjukkan Kesultanan Demak kepada masyarakatnya yang non-Muslim. Bahkan Sunan Gunung Djati menunjukkan gelar kepada Raden Patah dengan nama Sultan Ahmad Abdul Arifin sesudah terinspirasi oleh pengangkatan Khalifah Sultan Salim I dikala menaklukkan Kesultanan Mesir. Sunan Gunung Djati melaksanakan ini sempurna pasca kepulangannya dari berhaji di Masjidil Haram.
Dalam peranan dakwah, letak Masjid Agung Demak yang berada di barat alun-alun Kadipaten Demak menjadi pusat peradaban dan pendidikan. Di dalam kompleks Masjid ini pelatihan fikih islam, penyebaran tsaqafah dan penguatan diri untuk pelatihan tauhid Islam begitu kental. Lamban-laun budaya Hindu-Budha yang masih menempel di masyarakat—apalagi terkait takhayul, bid’ah dan khurafat—mulai berkurang.
Di dalam ruang utama masjid, para wali yang dikala itu berfungsi sebagai penasihat keagamaan dan politik Sultan biasa berkumpul. Mereka berkumpul bukan saja dalam rangka taqarrub ilalLah, tetapi juga berusaha merampungkan masalah-masalah ditengah umat. Kebijakan pemerintah, keputusan aturan dan peranan politik sangat kental menempel dengan Masjid Agung Demak. Kesultanan Demak tidak sanggup terpisahkan dengan Masjid Agung. Siar dakwah yang semakin luas menunjukkan tekanan besar kepada raja-raja Hindu dan Budha. Tidak aneh, Kesultanan Demak melakukan futuhat atau pelebaran wilayah kekuasaan.
Namun, prinsip luar negeri Islam yang memberikan dakwah dan jihad telah mengantarkan peranan kejayaan yang besar bagi Kesultanan Demak. Pati Unus pernah dikirim untuk melaksanakan perlawanan terhadap Portugis di Perairan Selat Malaka. Bahkan meski masa pemerintahan Pati Unus singkat, waktu yang dipakai oleh Pati Unus banyak dihabiskan di medan pertempuran. Dampaknya, jangkauan wilayah Demak semakin luas. Hal ini pula yang membuat pemerintahan Portugis ketar-ketir menghadapi ketangguhan Kesultanan Demak.
Dalam bekerja, Dewan Wali atau biasa dikenal dengan Walisongo mempunyai kiprah pokok dan fungsi masing-masing. Mengenai pembagian kerja Dewan Wali secara struktural, berdasarkan hasil penelitian Widji Saksono (1996: 97-100) adalah: Sunan Ampel mengurus susunan aturan syariah dan aturan perdata, khususnya berkenaan dengan problem nikah, talak, rujuk. Sunan Bonang merapikan aturan-aturan, termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa. Sunan Gresik mengubah teladan dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda. Sunan Drajat mengurus hal-ihwal pembangunan rumah maupun banyak sekali ragam alat angkut. Sunan Majagung mengurus hal-ihwal masakan (makanan) maupun alat tani dan barang pecah-belah lainnya. Sunan Gunung Jati, selain bertugas memperbaiki doa, memberantas hal-hal khurafat dan takhayul, ia juga mempunyai kiprah untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa gres (perluasan wilayah). Sunan Giri bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu; kemudian menyusun dan merapikan segala perundang-undangan, termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas mengurusi administrasi. Sunan Kalijaga bertugas mengurus bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan membuat langgam maupun gending. Sunan Kudus  bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan materi besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariah.

No comments:

Post a Comment