Sebagaimana masjid besar di dalam naungan kekuasaan Islam lainnya, Masjid Gedhe Kauman juga digunakan untuk shalat dan kepentingan sosial kemasyarakatan umat Islam di sekelilingnya. Masjid itu juga digunakan untuk memutus kasus yang terjadi di masyarakat. Singkatnya, Masjid Gedhe Kauman digunakan sebagai tempat beribadah, upacara keagamaan, sentra syiar Islam dan tempat penegaan aturan keagamaan (Islam).
Masjid tertua di Yogyakarta ini dibangun untuk menegaskan identitas keislaman Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat. Masjid ini dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I. Masjid ini berstatus Masjid Raya Provinsi DIY, dan merupakan salah satu benda cagar budaya di Yogyakarta. Masjid itu didirikan sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja dan rakyatnya, serta untuk menegaskan identitas Kerajaan Islam.1
Masjid Gedhe Kauman merupakan masjid tertua yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (Penghulu Kraton 1) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsitekturnya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta untuk kelengkapan sebuah Kerajaan Islam.
Untuk mengoptimalkan kiprah dan fungsi masjid, Sultan HB I menyebarkan pemukiman bagi para pengurus atau takmir masjid. Kepengurusan masjid dipegang seorang abdi dalem penghulu. Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, penghulu Keraton dibantu oleh abdi dalem ketib, modin, merbot danpamethakan serta abdi dalem kaji selusinan dan barjamangah. Sebagian dari para abdi dalem itu dibuatkan rumah di sekitar masjid. Tempat itu lalu disebut pakauman. Sesudah berubah menjadi pemukiman atau perkampungan, tempat itu lalu menjadi Kampung Kauman. Lalu katakauman menjadi nama masjid sekarang.
Menurut masyarakat Sri Sultan Hemengkubuwono 1, sebelum jadi raja, yaitu seorang Muslim yang taat mengerjakan shalat, puasa wajib dan puasa Senin-Kamis. Ia juga pemberani dalam beramar makruf nahi mungkar, membersihkan kemaksiatan, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta melawan penjajahan. Antusiasme masyarakat sekitar untuk beribadah pada waktu itu merupakan alasan yang utama pembangunan serambi masjid yang juga difungsikan sebagai “al-Mahkamah al Kabiroh”, yakni tempat pertemuan para alim ulama, pengajian dakwah Islam, pengadilan agama, pernikahan, pembagian waris, penyelesaian permasalahan masyarakat dan sebagainya. Ini ibarat halnya pada masa-masa sebelum dan paska penjajahan.2
Sebelum dan masa kemerdekaan, Masjid Gedhe Kauman memiliki peranan yang sangat signifikan dalam sejarah usaha masyarakat melawan penjajah alasannya yaitu masjid ini menjadi tempat berkumpulnya massa dan merupakan markas utama melawan penjajah. Setiap kali ada penyerbuan, pasukan yang terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan masyarakat pribumi diberangkatkan dari masjid ini. Ini ibarat halnya penyerbuan markas Jepang di Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945 oleh pejuang Yogyakarta yang tergabung dengan Polisi spesial dan Badan Keamanan Rakyat (Laskar Rakyat) yang lalu dikenal dengan penyerbuan Kotabaru. Terbukti di Kotabaru terdapat monomen yang menunjukan adanya pertempuran tersebut.3
Pada masa Perjuangan Kemerdekaan RI, Masjid Gedhe Kauman sering digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia bersama para pejuang Asykar Perang Sabil untuk menyusun taktik penyerangan melawan aksi Belanda. Para satria Hizbullah yang gugur lalu dimakamkan di sisi barat Masjid Gedhe Kauman, termasuk satria nasional Nyai Hj. A Dahlan. Area pemakaman tersebut dinamai dengan Makam Syuhada’.
Pada masa-masa penjajahan hingga Orde Baru, Masjid Gedhe Kauman tidak hanya berperan sebagai tempat beribadah masyarakat, tetapi juga sebagai benteng utama masyarakat dalam memperjuangkan dan mempertahnkan haknya sehingga banyak orang menyebut Masjid Gedhe Kauman sebagai simbol usaha masyarakat. Ini ibarat pada zaman revolusi usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Gedung Pajangan yang terletak di kanan kiri regol masjid, dan biasa digunakan para prajurit keraton (tentara kraton) untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam, digunakan sebagai sentra Markas Ulama Asykar Perang Sabil (MU-APS) yang membantu Tentara Nasional Indonesia melawan aksi Belanda. Mereka mendorong semangat juang masyarakat yang tergabung dengan Tentara Nasional Indonesia dengan hal-hal religius, seperti tawshiah dan doa bersama.
Pada tahun 1965-1966 masjid ini dijadikan sarana usaha Komponen Angkatan ’66 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Persatuan Pelajar Indonesia) dan sebagainya dalam menumbangkan Orde Lama dan membubarkan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI); begitu juga dengan aksi-aksi mahasiswa sebagai usaha Angkatan Muda pada ketika Reformasi dalam menumbangkan rezim Orde Baru.
Dengan adanya masjid ini daerah di sekitar masjid banyak santri dan ulama sehingga agama Islam tumbuh dan berkembang hingga ketika ini, termasuk juga gerakan Muhammadiyah yang dipelopori KH Ahmad Dahlan pada kala tahun 1912. Keberadaan Masjid Gedhe Kauman ini mengatakan simbol keberadaan Sultan sebagai sayidin panatagama khalifatullah.
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/
No comments:
Post a Comment