Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Masalah transportasi seputar ritual pulang kampung lebaran yang terjadi setiap tahun, semakin hari semakin kronis. Kalau sepuluh tahun yang lalu, perjalanan Jakarta-Cirebon selama arus pulang kampung sanggup ditempuh dalam 16 jam, sekarang sudah hampir 24 jam. Mulai tahun ini, pihak kereta api tidak lagi menyediakan tiket tanpa kursi. Sementara angkutan bus, kapal maupun pesawat juga tidak meningkat signifikan. Akibatnya, makin banyak orang pulang kampung dengan mengendarai sepeda motor, meski moda ini sesungguhnya sama sekali tidak layak untuk jarak di atas 2 jam. Namun penggunaan motor juga dipicu oleh kenyataan bahwa di kota tujuan, banyak angkutan umum yang sudah tidak berfungsi, seiring dengan makin mudahnya orang mendapat sepeda motor dengan cara kredit. Akibatnya sanggup ditebak: angka kecelakaan sepeda motor selama pulang kampung meroket!
Bagaimana dulu negara khilafah mengatur arus mudik? Adakah teknologi pulang kampung dikala itu?
Persoalan transportasi tampaknya lebih banyak problem teknis, dan di zaman dulu teknologinya masih amat berbeda. Jumlah penduduk dikala itu juga masih relatif sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah ibarat dikala ini mungkin belum pernah ada.
Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam problem infrastruktur pulang kampung (transportasi), kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur ialah tanggung jawab negara, bukan cuma alasannya sifatnya yang menjadi daerah kemudian lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, alasannya inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bab kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, daerah singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara pria dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan daerah pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, alasannya semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua mempunyai kualitas yang standar.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diharapkan supaya perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan jikalau ada masalah, sanggup ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum Muslimin berguru astronomi dan teknik menciptakan kompas hingga ke Cina, dan membuatkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan menciptakan reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam wujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras menciptakan isyarat yang makin efisien dan kondusif dari penyadapan.
Teknologi & administrasi fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, gres Paris yang tetapkan sebagai kota pertama Eropa yang menggandakan Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi dikala itu, kaum Muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin berpengaruh menempuh perjalanan. Untuk di maritim mereka juga banyak membuatkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari bahtera cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang. Pada periode 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang dipakai pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan Muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melaksanakan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, hingga Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying."
Yang menarik, hingga periode 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten membuatkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Musim haji ialah trend ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun pulang kampung ke kampung halaman. Di negeri-negeri timur tengah, libur dikala lebaran haji lebih usang dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada hari Tasyrik). Karena itu situasi pulang kampung terjadi pada trend ini.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan banyak sekali negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang dikala itu sudah memberontak terhadap khilafah alasannya provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.
Perang Dunia I mengakhiri semuanya. Tak cuma khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi hingga perbatasan Jordania – Saudi.
Untuk mengatasi arus mudik, Daulah Khilafah sudah memberi rujukan lebih dari seabad yang lalu. Apakah kita memang malas belajar?[]
Sumber : http://mediaumat.com/
No comments:
Post a Comment