Monday, July 11, 2016

Teknologi Militer Tak Hanya Senjata


Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Di dunia militer, dikenal istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP).  Misalnya ketika tentara digerakkan untuk membangun desa – menyerupai dulu di zaman Orba “ABRI Masuk Desa” (AMD).  Atau ketika tentara yang mempunyai peralatan memadai dan personel terlatih digerakkan untuk menolong korban bencana.
Maka di dunia militer pun dikenal istilah Teknologi Militer Selain Senjata (alutsista).  Karena itulah, di dunia akademisi pertahanan, tidak hanya ada pakar-pakar ilmu taktik dan ilmu senjata, tetapi juga ilmu-ilmu sipil.
Demikian juga dalam sejarah militer Islam. Rahasia kekuatan militer umat Islam generasi awal ada pada kemampuannya menyinergikan banyak sekali infrastruktur, yaitu
(1) Infrastruktur ruhiyah (akidah, ibadah) sehingga setiap Muslim baik yang menjadi anggota militer atau tidak, akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah dan hidup untuk mencari ridha Allah semata.  Mereka mempunyai kejelasan tujuan hidup dan pegangan hidup, yang lebih besar lengan berkuasa dari segala ideologi.  Islam yakni “beyond ideology”.
(2) Infrastruktur syakhsiyah, sehingga setiap Muslim akan menempa dirinya menjadi pribadi yang taqwa, kuat, berahlaq mulia dan sekaligus mempunyai profesionalisme terbaik, alasannya yakni dengan itu ia sanggup menunjukkan manfaat yang terbesar di tengah umat manusia.  Untuk itu mereka selalu siap berguru dari manapun, baik yang sifatnya kauni yang sanggup diperoleh dari pengalaman / percobaan, juga ide dari ayat-ayat suci.  Dalam hal jasadiyah, mereka mempelajari banyak sekali jenis beladiri yang dikenal ketika itu.  Rasulullah juga sangat menganjurkan setiap Muslim untuk berguru berkuda, berenang, memanah.  Ini yakni tamsil untuk keterampilan hidup yang selayaknya dimiliki seorang Muslim.
(3) infrastruktur jama’ah, sehingga setiap Muslim akan merasa menjadi bab dari masyarakat Islam yang saling menjaga.  Untuk itulah mereka terus melaksanakan tarbiyah, mu’amalah syar’iyyah, dakwah, amar ma’ruf nahyi munkar dan jihad.  Di sinilah sistem pendidikan, ekonomi, politik, peradilan dan relasi luar negeri terbangun.  Di sini pula tugas kelompok-kelompok masyarakat sangat penting.  Selain mereka saling meningkatkan kepedulian rakyat dan para pejabat, mereka juga gemar melaksanakan wakaf untuk mendukung infrastruktur jama’ah yang terkait jihad, apakah itu sekolah, perpustakaan, laboratorium, sampai observatorium bintang.  Biasanya semua wakaf jariyah ini diserahkan beserta suatu asset produktif (seperti kebun atau industri) untuk membiayai biaya operasionalnya.  Dan semoga mereka mendapatkan apa yang akan diinfaqkan itu, maka sistem ekonomi syari’ah dengan banyak sekali jenis syirkah telah berkembang luas.
Sementara itu teknologi yakni merupakan pendukung dalam menciptakan seluruh infrastruktur semakin efektif. Kalau kita telaah sejarah, ternyata semenjak awal kaum Muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer.  Pada perang Ahzab, Rasulullah saw mendapatkan tawaran untuk menciptakan parit dari Salman yang berasal dari Persia.  Sampai ketika itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.
Teknologi militer di masa khilafah Islam juga meliputi hal-hal yang paling “sederhana” menyerupai ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk memberikan pesan-pesan diam-diam secara cepat, sampai astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.
Di banyak sekali masa kekhilafahan, tugas para perekayasa militer terus meningkat.  Korps perekayasa yang terdiri dari akil besi (metalurgist), tukang kayu, jago keramik, jago kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang pribadi bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.
Selain teknologi militer berupa persenjataan, terdapat juga banyak sekali teknologi non senjata.  Teknologi itu meliputi ilmu geografi untuk menyiapkan isu geospasial militer, logistik militer, kedokteran, sampai tugas olahraga dan musik militer.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hiduppun meliputi flora, fauna dan insan beserta interaksinya.  Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk merubahnya sesuai kebutuhan kita.  Berbeda dengan filsafat, geografi berguna praktis, baik di masa tenang maupun di masa perang.  Sampai hari ini, geografi mutlak dibutuhkan baik oleh wisatawan, perencana kota sampai panglima militer.
Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.
Posisi logistik dalam setiap expedisi jihad yakni vital.  Kemenangan perang di manapun sering ditentukan bukan oleh senjata atau kehebatan tempur pasukan, tetapi oleh logistik yang sudah direncanakan ditaruh di tempat yang sempurna pada ketika yang tepat.  Dalam perang modern, sebuah pesawat tempur yang canggih tidak ada artinya tanpa materi bakar.  Demikian juga, sebuah kapal induk bertenaga nuklir, tak ada artinya jika awaknya kelaparan.
Pada masa Thariq bin Ziyad, logistik yang memilih yakni masakan prajurit dan pakan kuda!  Kaprikornus pada setiap pergerakan pasukan, harus ada rumput bergizi tinggi yang bisa ditanam atau disediakan dengan cepat.
Karena jihad menjangkau tempat yang luas dengan waktu yang usang maka logistik berupa rumput ini juga harus bisa dihasilkan di daerah-daerah yang strategis yang sudah dikuasai oleh pasukan Islam. Rumput yang ditanam-pun juga bukan sembarang rumput, jika yang ditanam rumput yang biasa-biasa – maka akan dibutuhkan areal yang sangat luas atau waktu yang sangat usang untuk menanamnya dan kuda perang-pun tidak bisa tumbuh perkasa.
Maka bab logistik dari pasukan Islam ketika itu sudah mengenal rerumputan bergizi tinggi yang sangat efektif untuk menumbuhkan kuda, tumbuhan bergizi tinggi inilah yang disebut alfalfa. Karena penguasaan Islam yang usang khususnya di Spanyol, teknologi menanam alfalfa ini juga kemudian menular ke bangsa Spanyol.  Ketika 800 tahun kemudian panglima perang Spanyol Hernando Cortez menaklukkan bangsa Aztecs di Mexico, bukan hanya taktik memperabukan kapalnya yang ia jiplak dari Thariq bin Ziyad – tetapi juga membangun logistik pasukan berkudanya dengan tumbuhan yang sama dengan yang diperkenalkan peradaban Islam di Spanyol selama 781 tahun !.
Selain produksi, logistik juga sangat terkait dengan kecepatan distribusi, dan itu berarti transportasi.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah sampai Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya.  Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf.  Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan banyak sekali negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu.  Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!

No comments:

Post a Comment