Monday, July 11, 2016

Ketika Muslim Cerdas Spasial


Oleh: Prof Dr Ing Fahmi Amhar
Idulfitri telah tiba.  Separuh penduduk ibukota akan mudik.  Itu berarti jalanan macet.  Kenapa?  Karena sebagian besar tidak tahu jalan, sehingga mengandalkan jalan yang paling populer.  Macetlah. 

Hal yang sama terjadi di jalanan Jakarta setiap hari.  Jalan tol yang semestinya lancar malah paling macet.  Kenapa sebagian orang pakai jalan tol?  Banyak yang alasannya yaitu tidak tahu jalan.

Selama animo haji ternyata sama juga.  Jalanan Mekkah  Arafah  Muzdalifah  Mina macet oleh orang-orang yang tidak tahu jalan, termasuk sopir-sopir musiman.

Selain problem jalan, kaum Muslim juga sering kelihatan kurang cerdas dalam soal lokasi.  Tak jarang dua masjid terletak berdampingan, sedang pada dikala yang sama ada satu kampung yang sangat jauh dari masjid, atau ukuran masjidnya sangat tidak memadai.  Dalam bertani pun, tidak sedikit kaum Muslim yang menanam secara latah.  Ketika harga suatu komoditas pertanian sedang tinggi, mereka ramai-ramai menanamnya, tanpa ilmu ihwal apakah tanah itu optimal untuk jenis komoditas yang ditanam.  Kalau ini dilakukan oleh petani kecil yang miskin dan tak pernah sekolah, mungkin kita paham.  Tetapi bila ini dimobilisasi oleh pemerintah, tentu kita bertanya-tanya.

Dan jikalau kita tanya para pelajar dan mahasiswa ihwal nama-nama negeri Muslim, atau bahkan lokasi kota-kota di negeri mereka sendiri, kita adakala mengelus dada.  Kalau mereka tidak tahu di mana lokasi dan batas-batas kedaulatan mereka, bagaimana mereka akan peduli jikalau tanah-tanah mereka telah dijarah penjajah dan sumberdaya alamnya telah dihisap?

Padahal kaum Muslim generasi awal yaitu kaum yang cerdas spasial, atau cerdas dalam mengenali dan memanfaatkan ruang.  Mereka didorong untuk mengenali ruang daerah hidupnya.  Dan lebih dari itu mereka ditantang mengenali ruang hidup bangsa-bangsa lain alasannya yaitu dorongan dakwah dan jihad.  Allah SWT berfirman: “Sungguh telah berlaku sunnah Allah,  maka berjalanlah kau di muka bumi dan lihatlah bagaimana tanggapan (perbuatan) orang-orang mendustakan ayat-ayat-Nya”. (TQS. Al-Imran: 137).

Perintah ini telah membuat umat Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melaksanakan ekspedisi. Mereka mulai menjelajah daratan dan mengarungi lautan untuk berbagi agama Allah.  Jalur-jalur darat dan bahari yang gres dibuka, menghubungkan seluruh wilayah Islam yang berkembang dari Spanyol di barat sampai Asia Tenggara di timur, dari Sungai Wolga di utara sampai lereng gunung Kilimanjaro di pedalaman Afrika.
Ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah Muslim untuk mengembangkan ilmu-ilmu kebumian menyerupai geodesi dan geografi, atau di era modern disebut geospasial. Umat Islam memang bukan yang pertama menguasai ilmu bumi. Ilmu ini diwarisi dari bangsa Yunani, dari tokoh-tokoh menyerupai Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristoteles, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemeus.  Salah satu buku karya Ptolomeus yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab, yaitu Almagest, yaitu buku favorit yang digunakan sebagai pegangan kajian tafsir di Baghdad ketika yang dibahas yaitu surat al-Ghasiyah.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan (TQS. 88:17-20)

Kerja keras para sarjana Muslim itu berbuah manis. Al-Biruni bisa menghitung keliling bumi lebih akurat dari yang pernah didapat Eratosthenes. Khalifah Al-Ma'mun memerintahkan para intelektualnya membuat peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 jago lainnya membuat globe pertama pada 830 M.  Dia juga menulis kitab Surah Al-Ardh (Risalah Bumi). Pada kala yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku berjudul “Tentang Bumi yang Berpenghuni”.

Pada awal kala ke-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan universitas khusus survei pemetaan di Baghdad.  Pada kala ke-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri dari Spanyol menulis kitab Mu'jam Al-Ista'jam (Eksiklopedi Kebumian) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Ini buku pertama ihwal toponimi (nama-nama tempat) di Jazirah Arab. Pada kala ke-12, Al-Idrisi membuat peta dunia dan menulis Kitab Nazhah Al-Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu kuat sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Seabad kemudian, Qutubuddin Asy-Syirazi (12361311 M) membuat peta Laut Tengah, dan Yaqut Ar-Rumi (1179-1229 M) menulis enam jilid ensiklopedi bertajuk Mu'jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).

Penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di kala 14 M memberi pemberian yang signifikan dalam menemukan rute perjalanan gres sehabis berekspedisi selama hampir 30 tahun. Penjelajah Muslim lainnya, yaitu  Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok menemukan banyak rute gres perjalanan bahari sehabis berekspedisi tujuh kali dari tahun 1405 sampai 1433 M.  Mereka juga mendata sebaran obyek tematik yang diamatinya di atas peta.  Muncullah antara lain geo-botani, untuk mencatat distribusi dan pembagian terstruktur mengenai tumbuhan,  atau geo-lingua untuk mencatat sebaran bahasa dan dialek.
Karena dorongan syariah, kaum Muslim generasi awal telah cerdas spasial sehingga mereka kemudian pantas diberi amanah menguasai negeri Barat dan Timur.  Kapan kita akan secerdas mereka, atau lebih cerdas lagi?[]

No comments:

Post a Comment