Saturday, October 8, 2016

Orang Yang Menyambungkan Nafas

Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

Apakah Anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak?  Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak.  Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas dingklik atau kendaraan.  Bahkan untuk jarak tak hingga seratus meter saja, ada yang menentukan naik kendaraan bermotor.  Walhasil mereka lebih gampang tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki dikala tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat.  Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan ibarat tenggorokan, maupun yang berat ibarat jantung.  Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu.  Dan operasi jantung menjadi rutinitas.  

Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan Muslim kurun 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan.  Orang itu yaitu Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.

Ibn an-Nafis, ibarat banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, yaitu seorang polymath (pakar aneka macam ilmu), yaitu andal hadits, faqih madzhab Syafi'i, andal bahasa, astronom, dokter bedah, andal mata, dan andal jantung.

Ibn an-Nafis yaitu orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar.  Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani.  Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen.  Teori Ibn an-Nafis ini berdasarkan sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari kurun 17.

Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung.  Ibn an-Nafis juga menunjukkan bantuan yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata.  Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.

Dalam kaitan dengan syaraf ini, ia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak inspirasi Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung.  Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ.  Kesimpulannya “jiwa bekerjasama dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk mendapatkan jiwa”, dan “jiwa tidak lain yaitu kemampuan insan untuk menyadari dirinya”.  Sedang badan yaitu terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.

Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina.  Dia beropini bahwa sperma pria maupun sel telur wanita mempunyai peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu pria selalu mendominasi ibarat teori sebelumnya.

Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga alasannya yaitu ia yaitu penggerak kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat.  Dengan itu ia berhasil menyebarkan pemahaman yang lebih akurat atas aneka macam proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.  

Pada 1242 M, dikala usianya gres 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina.  Setelah itu ia mudah menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid dikala usianya 31 tahun.  Sepanjang hidupnya, ia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya.  Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga dikala itu.

Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, ia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “taklim”.  Taklim pertama wacana prinsip-prinsip bedah.  Di sini ia merinci tahapan-tahapan operasi dan tugas serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap.  Taklim kedua wacana peralatan bedah.  Sedang taklim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga dikala itu.  

Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit.  Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs).  Dia lebih suka kalau pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.

Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra.  Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi).  Ini yaitu novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”.  Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”.  Novel ini bercerita wacana protagonis berjulukan Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil.  Dia gres kontak dengan dunia luar sehabis kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban. Plot kisah ini berubah menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya yaitu tragedi dahsyat yang mendekati hari tamat zaman (idenya ibarat film 2012).  Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis memberikan aneka macam fatwa filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, tugas para Nabi, asal seruan manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya.   Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas wacana biologi, astronomi dan geologi menciptakan novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.

Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah.  Inilah yang menciptakan ia hijrah ke Mesir.  Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam.  Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam kurun kemudian.

Sumber : http://www.mediaumat.com/

No comments:

Post a Comment