Saturday, October 8, 2016

Orang Alim Itu Seorang Polymath


Oleh: Dr. Ing. Fahmi Amhar

Pernahkah Anda bertemu seorang Polymath?  Polymath ialah orang yang sangat kompeten tidak hanya dalam satu bidang ilmu, namun dalam beberapa bidang ilmu sekaligus.  Mungkin orang akan menyampaikan bahwa fokus di satu bidang akan membuatnya lebih ahli lagi, namun itu tidak berlaku bagi seorang Polymath.  Mereka memang sangat ahli dalam beberapa bidang sekaligus.  Sejarah keemasan Islam mencatat cukup banyak polymath, salah satu di antaranya ialah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al Biruni, yang hidup antara 973 M hingga 1048 M.
Sebagaimana lazimnya bawah umur di masa itu, al-Biruni sudah hafal Quran sebelum baligh.  Tentu saja ia juga berguru ilmu fiqih dasar dan ia mempelajarinya dengan serius sehingga pada dikala berusia baligh ia sudah mengenal semua syariat Islam yang wajib diketahui dalam kehidupan sehari-hari.  Dia mempunyai kualitas seorang alim.  Dia kemudian menekuni aneka macam cabang ilmu sesuai minatnya.
Pada usia 17 al-Biruni sudah menghitung posisi lintang bujur dari Kath, Khawarizm, dengan metode tinggi matahari.  Al-Biruni memecahkan persamaan geodesi kompleks untuk menghitung jari-jari bumi.  Dan ia mendapat angka sekitar 6.339,9 Km, hanya berselisih 16,8 Km dari nilai modern yaitu 6356,7 Km.  Berbeda dengan pendahulunya yang menghitung jari-jari bumi dengan pengamatan simultan matahari dari dua kawasan yang berbeda, al-Biruni menyebarkan metode trigonometris yang sanggup dikerjakan satu orang dari satu lokasi.  Dengan cara itu ia juga sanggup mengukur tinggi gunung tanpa harus mendakinya.
Pada usia 22 tahun, al-Biruni sudah menulis sejumlah karya ilmiah, termasuk ihwal proyeksi peta, penggunaan sistem koordinat 3D - Cartesian (waktu itu tentu saja belum disebut Cartesian) dan transformasinya ke sistem koordinat polar.
Ketika membahas geografi, al-Biruni menggabungkan pemetaan dengan sejarah bangsa-bangsa terdahulu.  Sewaktu membahas geologi India, dari data-data tanah ia berhipotesa bahwa wilayah itu dulunya ialah laut  dan di era modern semakin diperkuat oleh bukti-bukti fossil hewan maritim di Himalaya.
Metode ilmiah al-Biruni hampir sama dengan metode ilmiah modern, terutama dengan perhatiannya pada eksperimen yang berulang.  Al-Biruni sangat peduli pada kesalahan sistematis dan kesalahan acak (random), menyerupai kesalahan yang mungkin disebabkan oleh penggunaan alat yang renik dan kesalahan yang timbul oleh pengamat.  Dia menyampaikan bahwa alat memproduksi kesalahan lantaran kualitasnya tidak sempurna, sehingga pengamatan mesti dilakukan berulang, dan sehabis itu dilakukan rata-rata aritmetis untuk mendapat asumsi yang masuk akal.
Untuk pengamatan astronomi, Al-Biruni banyak menciptakan aneka macam instrumen astronomi, menyerupai alat untuk mencari kiblat atau mengukur saat-saat shalat di semua kawasan di dunia.  Dia juga membangun prototype sextant, yaitu alat dasar survei.  Dia juga menciptakan prototype hodometer, semacam komputer mekanik untuk menciptakan kalender, menyerupai yang sekarang ada pada jam mekanik.
Al-Biruni secara tegas membedakan astrologi dari astronomi.  Dia menolak astrologi lantaran tidak empiris tetapi hanya menghubung-hubungkan dengan cara yang tidak logis.
Setelah membaca banyak data hasil pengamatannya, al-Biruni meyakini bahwa bumi ini bulat, berputar pada porosnya sehari sekali, dan beredar mengelilingi matahari setahun sekali.  Ini hal yang bertentangan dengan pendapat umum dikala itu, namun diyakini al-Biruni paling bersahabat dengan data-data empiris.
Al-Biruni juga memulai suatu tradisi gres dalam astronomi, yang disebut “astronomi-experimental”.  Dia mulai memprediksi gerhana matahari total pada 8 April 1019 dan gerhana bulan pada 17 september 1019 secara detil, bahkan pada lokasi mana gerhana itu sanggup disaksikan.  Dan berbeda dengan Ptolomeus, yang hanya menentukan data yang sesuai teorinya, al-Biruni memperlakukan “error” dengan perlakuan yang lebih ilmiah, termasuk memperbaiki teorinya.  Inilah yang kemudian melahirkan dukungannya pada teori heliosentris dan meninggalkan teori geosentris Ptolomeus.  Dia juga menyampaikan bahwa orbit planet-planet itu bukan lingkaran tetapi ellips.
Karya al-Biruni berjumlah total 146.  Ini meliputi 35 buku ihwal astronomi, 4 ihwal astrolab (alat navigasi), 23 ihwal astrologi, 5 ihwal kronologi (cara pendataan temporal), 2 ihwal pengukuran waktu, 9 ihwal geografi, 10 ihwal geodesi dan teori pemetaan, 8 ihwal aritmetika, 5 ihwal geometri, 2 ihwal trigonometri, 2 ihwal mekanika, 2 ihwal kedokteran dan farmakologi, 1 ihwal meteorologi, 2 ihwal mineralogi, 4 ihwal sejarah, 2 ihwal India, 3 ihwal agama dan filsafat, 16 ihwal karya sastra, 2 ihwal sihir, dan 9 tidak terklasifikasi.  Dari semua karyanya ini tinggal 22 yang bertahan hingga sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.  Yang paling populer adalah:
• Critical study of what India says, whether accepted by reason or refused
sebuah kompendium dari filsafat dan agama India.
• The Remaining Signs of Past Centuries
studi perbandingan kalender dari aneka macam budaya dan peradaban, dengan validasi matematis, astronomi dan isu sejarah.
• The Mas'udi Canon ensiklopedi astronomi, geografi dan rekayasa, dinamai Mas'udi, putra Mahmud al-Ghazni, sultan yang menjadi persembahan buku itu.
• Understanding Astrology
soal-jawab ihwal astrologi dikaitkan matematika dan astronomi, dalam budaya Arab dan Persia.
Pakar sejarah ilmu George Sarton menyebutkan bahwa al Biruni ialah “one of the very greatest scientist of Islam, and, all considered, one of the greatest of all times”.  Namanya telah diabadikan untuk sebuah kawah di bulan dan sebuah universitas teknologi di Tashkent Uzbekistan.
Sumber : http://www.mediaumat.com/

No comments:

Post a Comment