Friday, July 29, 2016

Iptek Masa Khilafah: Membangun Nalar Ilmiah Dan Peradaban Dunia

 Membangun Nalar Ilmiah dan Peradaban Dunia IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Ilmiah dan Peradaban Dunia

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yakni salah satu kunci keunggulan suatu bangsa atas bangsa lainnya. Namun, yang lebih vital dari itu yakni motivasi suatu bangsa menguasai iptek. Selama motivasi ini ada maka bangsa itu tak kan pernah kenal lelah untuk mempelajari dan menyebarkan iptek serta menyiapkan segala infrastruktur yang diperlukan. Mereka tak cuma akan mengejar ketinggalannya, namun juga akan selalu bisa mempertahankan keunggulan yang telah mereka raih.

Paksaan atau rangsangan ekonomi yakni motivator bermutu rendah; gampang ditimbulkan, namun gampang pula hilang; tidak bisa melahirkan suatu kesinambungan sendiri. Pembangunan iptek yang dilakukan lantaran paksaan suatu rezim tiranik, misalnya, akan segera berhenti kalau paksaan itu dikendorkan. Akibatnya, untuk menghidupkan iptek, rakyat dan para ilmuwan harus terus-menerus hidup dalam ketakutan. Adapun rangsangan ekonomi mempunyai “mutu” sedikit di atas paksaan, namun sama sensitifnya. Iptek yang belum menghasilkan laba ekonomi secara pribadi akan terabaikan. Padahal banyak iptek yang pada masa awalnya sama sekali “kering”.
Motivasi yang paling tinggi nilainya yakni keyakinan bahwa pekerjaan itu benar dan harus dilakukan. Keyakinan itu memerlukan waktu untuk ditanamkan ke dada manusia, namun sekali tertanam ia akan “hidup” terus, selama bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Manusia akan bekerja bebas tanpa paksaan, merdeka tanpa harus tunduk pada hambatan ekonomi. Mereka bekerja semata-mata lantaran yakin kebenarannya, dan untuk itu mereka akan selalu menemukan jalan, supaya pekerjaannya bisa berhasil. Motivasi inilah yang dimiliki oleh para nabi, yang juga diwarisi umat Islam pada masa lalu, sehingga bisa mengangkat bangsa yang “ummi” (buta huruf) menjadi bangsa yang meninggalkan jejak yang luar biasa pada dunia iptek.

Aspek Normatif
Ayat yang turun pertama-tama yakni ayat ihwal perintah membaca (QSal-‘Alaq [96]: 1-5). Selanjutnya Allah memerintahkan memakai akal, menyebut kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang melihat alam, berpikir, memahami dan mempertebal keimanannya. Sains terkait pribadi dengan dogma (QS Yunus [10]: 100; Fathir [35]: 28; Yunus [10]: 101). Kemudian Allah memerintahkan kita untuk menundukkan alam sesuai sunnatullah maka muncullah teknologi (QS al-Jatsiyah [45]: 13). Banyak pola yang diberikan nabi dan kemudian diteruskan oleh para salafus-shalih, yang mengakibatkan umat Islam dalam waktu singkat bisa mengungguli iptek yang pernah dikuasai oleh bangsa manapun sebelumnya.

1. Pembentukan daypikir ilmiah.
Sejak mula, Islam tidak mendapatkan pendapat tanpa argumentasi rasional, siapapun yang mengucapkan (QS an-Naml [27]: 64). Islam tidak mengakui sangkaan (zhann) untuk hal-hal yang perlu keyakinan penuh dan ilmu yang akurat (QS an-Najm [53]: 28). Islam menolak subyektivitas emosi lantaran apapun kesimpulannya, ia berinteraksi pada aturan alam (QS Shad [38]: 26). Islam mengikis patuh buta (taklid), baik itu kepada nenek moyang, pemimpin, apalagi pada orang awam (QS al-Baqarah [2]: 170). Islam mementingkan pengamatan empiris terhadap langit dan bumi dan segala isinya (QS adz-Dzariyat [51]: 20-21).

2. Pengakuan metode eksperimental
Pada kasus pencangkokan kurma yang ternyata gagal, Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang terjadi?” Mereka menjawab, “Baginda telah menyampaikan begini dan begitu”. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih tahu urusan teknik dunia kalian.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain, Rasul saw. bersabda, “Ucapanku dulu hanyalah dugaanku. Jika berguna, lakukanlah. Aku hanyalah seorang insan menyerupai kamu. Dugaan bisa benar bisa salah. Namun, apa yang kukatakan kepada kau dengan Allah berfirman, maka saya tak akan pernah berdusta terhadap Allah.” (HR Ahmad).

3. Memetik segala yang bermanfaat
Rasulullah saw. bersabda, “Ilmu itu bagai hewan ternak sesat orang Mukmin. Di manapun ia menemukannya, ia lebih berhak atasnya.”(HR at-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Atas dasar ini, maka umat Islam tidak pernah merasa risih mencar ilmu ilmu-ilmu yang tidak terwarnai pandangan hidup pemiliknya menyerupai matematika, fisika, kedokteran, ilmu militer sampai administrasi.

4. Memberantas tahayul dan khurafat
Saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya Ibrahim putra Nabi saw., sebagian Muslim menghubungkan hal itu sebagai tanda kebenaran Nabi saw. sehingga “matahari pun turut berduka”. Namun, Nabi saw. justru bersabda, “Gerhana matahari dan bulan tidak terjadi lantaran simpulan hidup atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya yakni gejala kekuasaan Allah.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang mendatangi dukun/paranormal dan menanyakan sesuatu, kemudian membenarkan apa yang ia ucapkan, maka salatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR Muslim).

Implikasi Kebijakan
Semua amalan itu ada ilmunya. Amalan yang fardhu ‘ain, ilmunya juga fardhu ‘ain. Amalan yang fardhu kifayah, ilmunya pun fardhu kifayah. Amalan yang fardhu ‘ain yakni amalan yang sehari-hari harus dikerjakan oleh setiap orang, baik untuk diri sendiri (mengetahui cara hidup sehat, dll), bekerjasama kepada Allah (taharah, shalat, puasa, dll) maupun untuk bekerjasama dengan sesama insan (muamalah, menjaga amanat, dsb).
Hidup dalam dakwah. Dengan itu, dalam mencar ilmu seorang Muslim akan menyerap ilmu secara maksimal alasannya yakni nanti ia harus bisa meneruskannya ke orang lain; dalam bekerja harus mencapai prestasi terbaik alasannya yakni nanti ia harus bisa menjadi pola bagi yang lain.
Negara Islam menyiapkan infrastruktur yang mendukung. Dukungan negara bisa dimulai dari menjamin kebebasan akademis, pemerataan saluran ilmu (pendirian sekolah, perpustakaan, observatorium, laboratorium) sampai implementasinya. Kestabilan politik serta jumlah “penjaga gawang keadilan” yang memadai juga membebaskan para ilmuwan iptek untuk berkonsentrasi pada riset ipteknya, tanpa harus selalu diputus untuk amar makruf nahi mungkar.

Bukti Historis
Prestasi umat Islam dalam sains dan teknologi sangat banyak dan berjalan konsisten selama hampir 1200 tahun. Memang, ada masa-masa ketika ilmu-ilmu dasar menyerupai matematika, fisika, kimia dan astronomi lebih berkembang, yaitu pada awal era Abbasiyah. Kemudian ada masa ketika teknologi menyerupai kedokteran, geografi, pertanian, permesinan, arsitektur bahkan teknik senjata lebih berkembang, menyerupai pada era Utsmani. Hal ini diakui oleh banyak sejarahwan Barat.
John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics Archive:
Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to European mathematicians of the sixteenth, seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathematicians around four centuries earlier(Penelitian terkini memberi-kan citra yang gres pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita. Dapat dipastikan bahwa banyak inspirasi yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada era 15, 17 dan 18 ternyata telah dikembangkan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat era lebih awal).

Will Durant juga menulis dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith:
Chemistry as a science was almost created by the Moslems; for in this field, where the Greeks (so far as we know) were confined to industrial experience and vague hypothesis, the Saracens introduced precise observation, controlled experiment, and careful records. They invented and named the alembic (al-anbiq), chemically analyzed innumerable substances, composed lapidaries, distinguished alkalis and acids, investigated their affinities, studied and manufactured hundreds of drugs. Alchemy, which the Moslems inherited from Egypt, contributed to chemistry by a thousand incidental discoveries, and by its method, which was the most scientific of all medieval operations(Kimia yakni ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh kaum Muslim. Saat dalam bidang ini orang-orang Yunani tidak mempunyai pengalaman industri dan hanya memperlihatkan hipotesis yang meragukan, para ilmuwan Muslim mengantarkan pada pengamatan teliti, eksperimen terkontrol dan catatan yang hati-hati. Mereka menemukan dan memberi nama alembic (al-anbiq), menganalisis substansi yang tak terhitung banyaknya, membedakan alkali dan asam, memeriksa kemiripannya, mempelajari dan memproduksi ratusan jenis obat. Alkimia yang diwarisi kaum Muslim dari Mesir menyumbangkan untuk kimia ribuan inovasi insidental, dari metodenya, yang paling ilmiah dari seluruh acara pada Zaman Pertengahan).

Phillip K. Hitti pun menulis dalam History of the Arabs tentang Abbas ibn Firnas (abad 10M) yang melaksanakan eksperimen alat terbang di Cordoba, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Donald R. Hill dalam bukunya, Islamic Technology: an Illustrated History(Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986), menciptakan sebuah daftar yang tidak mengecewakan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam; dari industri mesin, materi bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan sampai pertambangan dan metalurgi.
Kata-kata Arab pun terwarisi dalam istilah-istilah astronomi, alat-alat bedah sampai barang-barang yang ada di dapur.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/

No comments:

Post a Comment