Mari sejenak kita terbang ke kala ke-15, dikala itu Eropa masih berada di penghujung kala gelap, yang mana sebagian besar masyarakatnya masih mempercayai takhayul dan dongeng bohong. Saking percayanya, mereka sanggup memperabukan seorang perempuan atau mengubur hidup-hidup seorang lelaki hanya alasannya yakni dakwaan mereka “dirasuki setan”
Pada kala ke-15 tepatnya tahun 1470, berdiri sebuah Masjid megah di tengah kota Konstantinopel yang diganti namanya menjadi Islambul (sekarang Istanbul) oleh Muhammad Al-Fatih. Kelak Masjid ini akan dikunjungi pada tahun 1540 oleh Nicolas de Nicolay, geografer istana Raja Francis I, kemudian ia berkomentar:
“Masjid yang terindah dan yang paling berlimpah yakni Masjid Fatih, yang mempunyai pemasukan tahunan sekitar 60.000 ducats. Sekelilingnya kemudian lalang para imam dan ulama, dan sebagai tambahannya, sekitar 200 bangunan berkubah berlapis timbal, juga bangunan yang menyediakan makanan bagi pengunjung dari semua jenis etnis dan agama. Para pengunjung yang melewati kota ini sanggup tinggal di sini dengan pelayan-pelayan mereka tanpa membayar apapun. Diluar tembok pembatas kompleks Masjid tersedia 150 rumah lain yang diperuntukkan pada kaum papah di kota itu. Bagi para pengungsi yang tak berdaya diberikan satu akce sehari dan roti yang cukup bagi mereka. Hanya saja, di sana orang-orang miskin enggan hidup dengan cara meminta-minta, sehingga bangunan-bangunan untuk kaum papah ini banyak yang tak ditempati, dan uang yang sanggup dihemat karenanya, didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang ada di kota”
(Keterangan, 1 ducats = 3.5 gram emas, 40 akce = 1 ducats)
Masjid itu yakni Masjid Fatih, atau Fatih Kulliyesi, dan zaman itu yakni zaman Kesultanan Utsmaniyyah yang dipimpin oleh Khilafah Abbasiyah
Lihatlah bagaimana ketika Islam diterapkan secara tepat oleh sebuah kekuasaan, maka menjadilah apa yang disampaikan oleh Imam Ghazali
“Agama dan kekuasaan itu yakni saudara kembar, bagi agama layaknya asas, dan kekuasaan yakni penjaganya, yang tidak ada asas akan hancur dan yang tak ada penjaga akan hilang”
Ketika Islam diterap secara utuh, maka jantung peradaban insan yakni Masjid, nyawanya yakni tauhid, dan tiangnya yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Saat itu sudah berlalu 800-an tahun semenjak Rasulullah mencontohkan bahwa Masjid yakni sentra peradaban, namun ianya selalu segar dalam ingatan para sultan, dan juga para Khalifah untuk senantiasa megingat dan mengamalkan apa yang Rasulullah contohkan
Namun begitu Islam ditinggalkan pada 1924, semuanya berubah. Islam dianggap hanya urusan individu, dan ditolak untuk mengatur masyarakat dan negara. Kita lebih percaya pada sistem insan yang diimpor dari penjajah, dan kerusakannya sangat parah.
Sekarang, siapa yang kita contoh? adakah Masjid masih menjadi jantung peradaban bagi ummat? Atau hanya daerah yang tidak ada bedanya ibarat agama lain yang dikunjungi seminggu sekali?
Pertanyaan yang wajib kita tanyakan juga adalah, apakah bagi kita Rasulullah hanya tokoh sejarah yang diceritakan tapi tidak ditiru dan diteladani? Termasuk dalam mengatur negara dan masyarakat?
Kita perlu perubahan, dan perubahan itu yakni kembali kepada Islam, kembali menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kembali pada syariat Allah, dan Khilafah, kepemimpinan yang dicontohkan Nabi dan sahabatnya ridwanullah alaihim
Akhukum,
@felixsiauw
@felixsiauw
Sumber : http://felixsiauw.com/
No comments:
Post a Comment