Wednesday, February 20, 2019

“Thariqah” Dan “Uslub” Untuk Memenangkan Islam



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Soal:

Menjelang pemilu/pilkada banyak pihak berdalih dengan banyak sekali dalil, supaya kaum Muslim memakai hak pilihnya demi memenangkan calon tertentu. Mulai dari masalah Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir, diamnya Nabi terhadap Najasyi dan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi ketika menjadi pemimpin kaumnya, sementara mereka tidak menerapkan Islam, sampai hilf al-fudhul, dan lain-lain. Bagaimana tanggapan Ustadz ?

Jawab:

Pertama, Islam ialah agama, sekaligus ideologi. Islam tidak hanya mengajarkan ritual, spiritual dan akhlak, tetapi juga mengajarkan sistem yang mengatur kehidupan manusia. Mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, hukuman aturan dan sebagainya.

Islam juga tidak hanya menjelaskan semuanya tadi sebagai konsepsi kehidupan (majmu’ al-mafahim ‘an al-hayat), tetapi juga bagaimana semuanya itu diterapkan, dipertahankan dan diemban. Karena itu, Islam tidak hanya menjelaskan fikrah, tetapi juga thariqah.

*Kedua*, diakui atau tidak, pemahaman wacana thariqah ini telah usang hilang dari umat Islam, termasuk para ulama’nya, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Allah.

Karena itu, mereka tidak paham, mana aturan yang merupakan thariqah, dan mana yang tidak? Karena, mereka tidak memiliki standar wacana thariqah itu ibarat apa?

Akibatnya, mereka memakai demokrasi sebagai thariqah dalam meraih kekuasaan, padahal demokrasi merupakan sistem Kufur. Mereka juga tidak sanggup membedakan uslub dengan thariqah, sehingga dengan banyak sekali dalih, mengubah aturan pemilu yang “mubah”, bahkan “haram”, menjadi wajib untuk kepentingan mereka. Di sisi lain, ada juga yang memakai doa sebagai thariqah, padahal doa bukan merupakan aturan thariqah.

Ada juga yang memakai jihad sebagai thariqah untuk meraih kekuasaan. Jihad memang aturan Islam, dan termasuk thariqah, tetapi bukan thariqah untuk meraih kekuasaan. Nah, semuanya ini membuktikan, hilangnya pemahaman umat, termasuk para ulama’nya, wacana thariqah ini.

Karena itu, penting dijelaskan wacana apa itu thariqah, dan apa bedanya thariqah dengan uslub? Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, Mafahim Hizb at-Tahrir, telah menjelaskan thariqah dan uslub sebagai berikut:

1⃣ Thariqah ialah aturan syara’ yang bersifat tetap, tidak berubah, dalam kondisi apapun, alasannya ialah memang hukumnya wajib, bukan sunah apalagi mubah. Hukum tersebut terkait dengan perbuatan fisik, yang menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik. Contoh, doa merupakan aturan Islam, juga merupakan acara fisik, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik, maka doa bukan merupakan thariqah untuk mengubah keadaan. Karena itu, tidak cukup mengubah negeri kaum Muslim hanya dengan berdoa. Begitu juga menurunkan nilai tukar dolar terhadap rupiah tidak cukup dengan berdoa. Meski orang yang berdakwah dan berjuang untuk mengubah keadaan harus selalu berdoa, dan meminta derma kepada Allah SWT.

2⃣ Uslub ialah aturan syara’ yang dituntut oleh situasi dan kondisi. Karena itu, hukumnya mubah, tidak wajib. Kadang digunakan, kadang tidak, bergantung siatuasi dan kondisinya.
Pemilu ialah contohnya. Ketika Nabi saw. gres mengenal para sobat Anshar, uslub pemilihan ini digunakan, alasannya ialah baginda saw. belum mengenal siapa-siapa Nuqaba’ di antara mereka. Contoh lain longmach, konferensi, muktamar, seminar, rapat akbar ialah uslub untuk membentuk opini umum di tengah-tengah umat termasuk ahl an-nushrah, yang lahir dari kesadaran umum.

3️⃣ bahwa kemenangan umat Islam semata alasannya ialah derma Allah SWT. Pertolongan Allah SWT. itu diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Ini ialah komitmen yang niscaya dari Allah SWT. Karena itu, ini harus menjadi keyakinan kita. Allah berfirman:

﴿وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾

“Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Q.s. al-Anfal [08]: 10]

Nabi saw. dan para sobat pernah diberi pelajaran oleh Allah, ketika mereka mulai silau dengan jumlah mereka ketika Perang Hunain. Allah berfirman:

﴿لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ ﴾

“Sesungguhnya Allah telah menolong kau (orang Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kau menjadi congkak alasannya ialah banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kau lari ke belakang dengan bercerai-berai..” [Q.s. at-Taubah [09]: 25]

Karena itu, kemenangan bukan alasannya ialah jumlah. Termasuk jumlah bunyi yang diperoleh dalam pemilu. Tetapi, semata-mata alasannya ialah derma Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat yang sama:

﴿إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ﴾

“Kalaupun saja kau tidak menolongnya (Muhammad), maka gotong royong Allah niscaya menolongnya..” [Q.s. at-Taubah [09]: 40]

Artinya, Allah sanggup memenangkan Nabi saw. sendiri tanpa derma siapapun. Andai saja mereka tidak mau menolong baginda saw. untuk memenangkan agama-Nya, maka Allah SWT niscaya memenangkannya. Menariknya, Q.s. at-Taubah ini turun pada tahun ke-9 H, ketika seluruh Jazirah Arab sudah tunduk kepada Nabi saw. Sedangkan insiden yang dituturkan ialah peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu. Semuanya ini untuk mengingatkan Nabi saw. dan para sobat ridhwanu-Llah ‘alaihim, supaya mereka tidak melupakan sedikitpun fakta, bahwa kemenangan mereka itu hakikatnya alasannya ialah derma Allah semata. Bukan alasannya ialah kehebatan mereka, juga bukan alasannya ialah jumlah mereka.

Karena itu, ketika ada para pelopor yang berjuang untuk meraih kemenangan, yang konon untuk Islam, kemudian mereka mati-matian mengumpulkan bunyi sebanyak-banyaknya, sambil menghalalkan “demokrasi” yang diharamkan oleh Allah, dan membolehkan orang Kafir menjadi penguasa, niscaya mereka tidak pernah mendapatkan kemenangan yang dijanjikan oleh Allah. Tidakkah cukup, masalah Mursi di Mesir, Hamas di Palestina, FIS di Aljazair yang menang dalam pemilu, tapi balasannya tidak meraih kemenangan yang diharapkan, menjadi pelajaran bagi mereka?

4️⃣ memang benar, kemenangan semata datangnya dari Allah. Kemenangan ialah komitmen Allah. Tetapi, Allah SWT. juga tidak akan menawarkan kemenangan kepada orang yang tidak melaksanakan apapun. Hanya saja, apa yang dilakukan untuk meraih kemenangan yang dijanjikan Allah harus sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu, harus berjuang dengan sungguh-sungguh dan seratus persen.

Dalam konteks kekuasaan, Nabi saw. telah menggariskan thariqah yang khas. Mengikutinya hukumnya wajib, dan jikalau diikuti, hasilnya pun pasti. Thariqah itu ialah membina umat untuk membentuk jamaah, dan menyiapkan mereka, sehingga memiliki pemahaman dan kesadaran yang sahih.

Setelah dibina, dibuat dan disiapkan, mereka melaksanakan interaksi di tengah-tengah umat supaya umat mendapatkan dan menimbulkan ideologi mereka menjadi ideologi umat. Baru sehabis semuanya itu siap, umatlah yang akan menawarkan kekuasaan kepada mereka, melalui ahl an-nushrah. Ahl an-nushrah pun menawarkan nushrah, sehabis paham dan yakin dengan ideologi mereka. Karena itu, thalab an-nushrah merupakan satu-satunya thariqah Rasulullah saw. dalam meraih kekuasaan. Bukan yang lain.

Nushrah yang diberikan kepada Nabi saw. pun tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi aturan syara’. Itulah yang dilakukan oleh kaum Anshar, ketika mereka menawarkan nushrah kepada Nabi saw. ketika Bai’at Aqabah II. Mereka betul-betul tulus menawarkan kekuasaan kepada Nabi saw. tanpa imbalan apapun. Karena itu, Nabi saw. pun mendapatkan nushrah dari mereka. Berbeda, ketika Nabi saw. hendak diberi nushrah oleh Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang mensyaratkan kekuasaan sehabis Nabi saw. harus diserahkan kepada mereka, maka nushrah ini pun serta merta ditolak oleh Nabi saw.

5️⃣ mengenai dalih sebagian orang atau kelompok, bahwa boleh saja memakai demokrasi, dan terlibat dalam sistem Kufur, alasannya ialah beberapa alasan:

Pertama, Nabi saw. membiarkan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi dan Najasyi tidak menerapkan aturan Islam kepada kaumnya.
Kedua masalah hilf al-fudhul yang terjadi sebelum Nabi saw. diutus menjadi Nabi.
Ketiga, masalah Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir.

Jawabannya, sebagai berikut:

1- Thufail bin ‘Amru ad-Dausi berasal dari suku Daus di barat daya Jazirah Arab, yang sangat jauh dari Makkah. Menurut al-Baghawi, “Saya kira, dia menetap di Syam.” Ibn Hibban menuturkan, dia masuk Islam di tangan Nabi saw. ketika masih di Makkah. Setelah itu, kembali kepada kaumnya untuk mendakwahkan Islam. Ketika itu, hanya ayahnya dan Abu Hurairah yang masuk Islam. Setelah mendengar isu Nabi saw. di Madinah, dia mengajak 75 lelaki dari kaumnya. Mereka semuanya telah masuk Islam.

Mereka, termasuk Abu Hurairah, bertemu Rasulullah di Khaibar, sehabis Peristiwa Hudaibiyyah. Beliau melaporkan kepada Nabi, “Ya Rasulullah, gotong royong suku Daus telah menolak [dakwah], maka doakan kepada Allah supaya dilaknat.” Maka, baginda saw. berdoa, “Ya Allah, berilah hidayah kepada suku Daus.” Beliau mengikuti Umrah Qadha’ tahun ke-7 H, dan Penaklukan Kota Makkah.

Karena itu, fakta Thufail ialah fakta pengemban dakwah yang berjuang mengislamkan kaumnya, bukan fakta penguasa yang dibiarkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan Islam. Ini tampak dari doa Nabi saw. di atas. Selain itu, negeri dia juga jauh dari negeri dan jangkauan Nabi saw. berada.

Sedangkan diamnya Nabi saw. yang dihukumi sebagai taqrir, berdasarkan al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, harus: (1) sebelumnya dilarang; (2) diketahui oleh Nabi, contohnya dikerjakan di hadapan Nabi, atau terjadi pada zaman baginda saw, dan baginda mengetahuinya; (3) Nabi saw. sanggup mengingkari, yaitu sanggup mencegah pelakunya, tetapi tidak diingkari atau dicegah. Karena itu, dalam konteks ini, diamnya Nabi tidak sanggup dinyatakan sebagai taqrir, alasannya ialah daerahnya di luar jangkauan Nabi. Lalu, bagaimana mungkin Nabi saw. dianggap mendiamkan sesuatu yang seharusnya sanggup diingkari, sementara daerahnya di luar jangkau Nabi?

2- Karena itu, hal yang sama juga berlaku untuk Raja Najasyi yang berada di Habasyah, Ethiopia. Kalaulah Nabi saw. dianggap mendiamkan Raja Najasyi tidak menerapkan aturan Islam, maka diamnya Nabi saw. dalam masalah ini juga tidak sanggup disebut sebagai taqrir. Di sisi lain, posisi Najasyi sebagai Muslim, meski sebagai penguasa, tetapi berada di luar otoritas wilayah Negara Islam, sehingga aturan yang sama tidak sanggup diberlakukan di wilayahnya, kecuali jikalau diterima oleh rakyatnya. Dalam hal ini Allah berfirman:

﴿فَإِن جَاءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ﴾

“Jika mereka tiba kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.” [Q.s. al-Maidah: 42]

Ayat ini menawarkan opsi, bagi orang yang tinggal di luar wilayah Negara Islam, jikalau tiba ke wilayah Negara Islam meminta dieksekusi dengan aturan Islam, sanggup diterim atau ditolak. Karena dia bukan warga Negara Islam. Tetapi, bagi warga Negara Islam tidak ada opsi lain, kecuali menerapkan aturan Islam. Dalam masalah Raja Najasyi, maka mafhum mukhalafah ayat ini juga sanggup digunakan, sehingga kalaupun didiamkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan sistem Islam secara kaffah, itu termasuk pengecualian, alasannya ialah dia tinggal di luar wilayah Negara Islam.

Seperti, diamnya Nabi saw. terhadap orang Katolik dan Yahudi dengan keyahudian mereka, bukan berarti persetujuan baginda saw. terhadap kekufuran mereka, tetapi alasannya ialah itu merupakan pengecualian yang diberikan oleh Islam kepada mereka.

Selain itu, mengenai Raja Najasyi yang tidak sanggup menjalankan aturan Islam, ada dua versi riwayat. Riwayat yang dinukil Ibn Taimiyyah, tanpa menyebut sumbernya, bahwa Raja Najasyi tidak sanggup mengerjakan shalat, puasa dan zakat.

Sedangkan riwayat kedua, dituturkan oleh Qatadah dan ‘Atha’, bahwa dia mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis sampai wafatnya. Najasyi sendiri ialah gelar untuk Raja Habsyah, bukan nama orang. Dalam beberapa riwayat, nama Raja Najasyi yang masuk Islam ialah Ashhamah. Nabi saw. pun mengetahui dia wafat dari malaikat Jibril, kemudian menshalatkannya bersama sobat dengan shalat gaib.

3- Mengenai hilf al-fudhul yang terjadi ketika Nabi saw. belum diutus menjadi Nabi dan Rasul. Ketika usia baginda saw. gres 15 tahun. Saat itu, ada laki-laki dari Zubaid, wilayah Yaman, tiba ke Makkah membawa barang. Barangnya dibeli oleh al-‘Ash bin Wa’il, tetapi tidak dibayar. Singkat kata, laki-laki ini kemudian bangun di Ka’bah meminta tolong.

Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Taim bin Murrah balasannya teranggil, dan berkumpul di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Mereka bersatu untuk melawan kezaliman al-‘Ash bin Wa’il, dan mengembalikan hak laki-laki malang ini. Misi ini pun berhasil. Setelah menjadi Nabi, baginda saw. bersabda, “Aku telah menyaksikan pakatan bersama pamanku di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Betapa saya lebih menyukainya, ketimbang unta merah.” [Hr. Ahmad]. Konteks pakatan ini ialah menghilangkan kezaliman, yang hukumnya wajib.

 Konteks menghilangkan kezaliman ini tidak sanggup digeneralisasi untuk membentuk koalisi pemerintahan, atau terlibat dalam sistem Kufur. Sebab, jikalau digeneralisasi,pasti akan bertabrakan dengan dalil-dalil lain.

4- Tentang Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, jikalau ada klaim, seolah Nabi Yusuf memerintah dengan memakai aturan Kufur, maka klaim ini merupakan kebohongan atas nama Allah dan Nabi-Nya.

 Sekaligus menuduh Nabi Yusuf melaksanakan maksiat, padahal para ulama’ Ahlussunnah sepakat, bahwa Nabi dan Rasul harus maksum. Karena itu, ini tidak mungkin.

Selain itu, andai saja klaim ini benar, dan tindakan Nabi Yusuf ini dibolehkan, maka kebolehan ini tidak berlaku bagi kita. Karena, syariat Nabi dan umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Sebab, masing-masing sudah diberi syariat yang berbeda [Q.s. al-Ma’idah: 48].

Karena itu, _hanya ada satu thariqah untuk memenangkan Islam, yaitu dengan menegakkan Khilafah, sebagaimana thariqah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Karena inilah satu-satunya thariqah yang benar_. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment