Tuesday, January 1, 2019
Mari Tundukan Kepala Sejenak : Mana Yg Didahulukan, Mendidik Anak Menjadi Sholeh Atau Pintar....?
Oleh : Ustad Ismail Yusanto
Kisah ini layak jadi pertimbangan
Seorang Bapak kira-kira usia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja.
Kami bersebelahan hanya berjarak satu bangku kosong. Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.
“Dik hendak ke Jogja juga?”
“Saya ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”
“Iya.”
“Bapak sendiri?”
“Iya.” Senyumnya datar. Menghela napas panjang. “Dik kerja dimana?” “Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.
“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum.
“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.” Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”
Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia mempunyai dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.
Ketika ia berkisah wacana rumahnya yang mentereng di daerah elit Pondok Indah Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang satpam, 2 orang pembantu dan seorang sopir pribadinya, ia menyeka airmata di kelopak matanya dengan tisue.
“Dik jangan hingga mengalami hidup menyerupai saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, sekarang hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan menyerupai ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akhir kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, hingga lalai mendidik anak wacana agama, ibadah, silaturrahmi dan berbakti pada orang tua.
Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah ketika istri saya menjelang meninggal dunia alasannya yakni sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak dapat pulang mendampingi maut mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid - test di kampusnya sehingga tidak dapat pulang...”
“Bapak, Bapak yang sabar ya….”
“Bapak, Bapak yang sabar ya….”
Tidak ada kalimat lain yang dapat saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut. “Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik...
Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni sangkan paraning dumadi. Bukan bahan sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak hakiki... Adik dapat menimbulkan saya teladan kegagalan hidup insan yang merana di masa tuanya….” Ia mengelus pundak saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya.
Spontan saya memeluk Bapak tsb..
Tak sadar menetes airmata..
Bapak bau tanah tersebut juga meneteskan airmata.
Kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya harus shaleh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin oleh Tuhan, tapi tidak ada jaminan wacana keimanannya, orang bau tanah yg harus berusaha untuk mendidik dan menanamkannya.
Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri begitu kecil lemah tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
HIDUP ITU SEDERHANA SAJA. MENCARI REZEKI JANGAN MENGEJAR JUMLAHNYA TAPI KEJAR BERKAHNYA.
Semoga bermanfaat
Labels:
#INSPIRASI,
News
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment