Tuesday, November 15, 2016

Renungan Untuk Yang Gemar Merayakan Ulang Tahun


Oleh Adi Victoria
Lama saya tertegun. Memikirkan orang-orang yang selalu merayakan hari kelahirannya. Mengundang banyak orang untuk hadir, bersantap masakan hingga games-games untuk meriahkan suasana. Sorak tawa kegembiraan terpancar dari yang berulang tahun. Ucapan selamat serta do’a semoga panjang umur khususnya di ucapkan oleh yang hadir.
Yang semakin menciptakan saya semakin miris ialah tatkala mendengar kabar bahwa biasanya setiap perayaan ulang tahun biasanya juga di hidangkan mie goreng special untuk ulang tahun yang biasa disebut sebagai mie goreng ulang tahun. Mie goreng tersebut disajikan dengan member makna dan cita-cita biar kelak umur semakin panjang, rezeki semakin mengalir layaknya mie goreng tersebut. Sebagaiman tradisi sebagian masyarakat tionghoa yang selalu menyajikan Mie Ulang Tahun sebagai hidangan wajib bagi setiap perayaan tersebut.
Padahal umur dalam hal ini kematian ialah hal yang pasti, tidak sanggup dimajukan dan tidak sanggup dimundurkan.
Allah swt berfirman : “Tidak ada suatu umat pun yang sanggup mendahului ajalnya dan tidak pula sanggup memundurkannya (TQS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak lain ialah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya ialah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang kalau telah tiba ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, kemudian mereka mendoakannya setelah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup dan berinfak dengan semua itu serta menerima pahala karenanya.
Maka sangat gila kalau ada seorang muslim merayakan ulang tahun dan mengharapkan biar umur nya menjadi panjang. Padahal dia seharusnya bersedih, alasannya ialah jatah umur nya berkurang.
Ya, itulah salah satu imbas dari rujukan fikir sebagian masyarakat kita. Perayaan tersebut seolah telah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan.
Bahkan saya pernah tahu ada sebuah keluarga yang selalu merayakan perayaan ulang tahun tersebut baik bagi yang gres berumur satu tahun hingga yang telah berumur (baca = uzur) sekalipun. Seakan haram aturan nya kalau tidak dikerjakan.
Kelahiran seorang insan bersama-sama merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi insan yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad Saw tidak menimbulkan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya, padahal dia ialah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidak pernah dikenal.
Pandangan Islam Terhadap Ulang Tahun
Memang, tidak ada satu pun nash baik dari al qur’an dan al hadist yang menyatakan bahwa merayakan ulang tahun itu ialah haram. Namun pula sebaliknya, tidak ada juga dalil yang menyatakan kebolehan tersebut.
Disinilah pentingnya dilakukan kajian yang cermat terhadap fakta perayaan ulang tahun itu sendiri. Kalau kita cermati secara seksama, perayaan ulang tahun ialah buah dari kebudayaan barat yang di bawa ke negeri-negeri Islam oleh para penjajah. Ini tatkala negeri-negeri Islam di pecah belah menjadi lebih dari 57 negara pasca di runtuhnya khilafah Islam pada tanggal 03 maret 1924 silam.
Sejak ketika itu umat Islam mengalami kemerosotan di segala bidang, baik dari ekonomi, hukum, politik, social budaya.
Dan perayaan ulang tahun hanya satu diantara sekian banyaknya kebudayaan asing yang di bawa masuk ke dalam negeri-negeri Islam tersebut.
Maka terang bahwa perayaan ulang tahun merupakan acara yang bertasyabuh dengan orang-orang kafir. Memang tidak semua tasyabuh itu haram, alasannya ialah memang ada batasan-batasannya. Namun untuk perayaan ulang tahun terang merupakan tasyabuh yang bertentangan dengan Islam.
Batasan tasyabbuh ialah seseorang melaksanakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap apa yang menjadi ciri khas objek yang diserupai. Tasyabbuh terhadap orang-orang kafir maknanya ialah seorang muslim yang melaksanakan sesuatu hal dari kekhususan mereka. Adapun sesuatu yang telah umum tersebar di kaum muslimin dimana hal itu tidak membedakannya dengan orang-orang kafir, maka tidak termasuk tasyabbuh. Bukan pula termasuk sesuatu yang diharamkan dari sisi tasyabbuh-nya itu, kecuali kalau sesuatu itu diharamkan dari sisi yang lain. Dan sebagaimana yang kita sudah fahami bersama bahwa perayaan ulang tahun ialah sesuatu yang khas bagi mereka.
Maka dalam hal ini, Rasulullah saw mengingatkan kepada kita semua akan sabda nya :
Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir ialah haram meskipun tidak memiliki maksud mirip mereka, dengan dalil hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang tasyabbuh dengan satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud didalam Sunannya dan lainnya)
Hadits ini tetapkan banyak sekali hal wacana dilarangnya ibarat orang-orang kafir.
‘Amr bin Syu’aib telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang ibarat kaum selain kami. Jangan kalian ibarat yahudi dan nashrani.”
Ganti Merayakan Dengan Muhasabah Diri
Kalau kita sudah sadar bahwa umur semakin berkurang sehingga tidak ada yang pantas dirayakan,maka sebaiknya kita melaksanakan muhasabah diri.
Muhasabah diri memang tidak harus setahun sekali, tidak pula 6 bulan sekali, atau satu bulan sekali, alasannya ialah seharusnya setiap hari kita sanggup bermuhasabah diri kita, semenjak berdiri dari kawasan tidur hingga kembali ke kawasan tidur, kita sanggup menghisab diri kita sendiri, selama perputaran waktu 24 jam, berapa jam yang kita habiskan untuk tidur, bekerja, nonton TV, bercanda dengan keluarga, kerabat, teman, sahabat, rekan kerja bahkan terhadap orang gres di kenal, berapa jam yang kita habiskan untuk melaksanakan hal-hal yang tidak berguna, dan berapa jam yang tersisa untuk kita beribadah kepada Allah.
Kalau kini umur kita 25 tahun, maka anggap saja kita hidup hingga umur 65 tahun, maka masih ada sisa 40 tahun.
Saya tertarik ketika membaca sebuah artikel renungan hidup pada sebuah artikel cetak. Disana sang penulis menceritakan bagaimana ia termenung dan tertunduk hingga menangis tatkala sahabat nya memperlihatkan nasehat untuk menjalani sisa kehidupan selama berada di dunia ini.
Teman nya tersebut berkata :
“Andai jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun, dengan usia kita ketika ini 38 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana kalau jatah umur kita sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawa kita? Duh! Betapa singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun, atau malah cuma dua hari lagi…”
Ia kemudian melanjutkan:
Andai selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidup kita hanya digunakan untuk tidur, yakni sekitar 12,7 tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai 4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan melaksanakan hal-hal yang tak berguna, berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12 jam. Sebab, yang 12 jamnya digunakan untuk tidur dan melaksanakan hal-hal tadi. Dua belas jam berarti setengah hari. Jika ia dikalikan 38 tahun, berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan melaksanakan hal-hal yang tak berguna.
Ia pun bertutur lagi:
Dalam usia 38 tahun itu, kita, misalkan, gres mulai bekerja efektif pada usia 25 tahun. Berarti kita bekerja sudah 13 tahun. Jika rata-rata kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3×13 tahun=3,9 tahun. Artinya, dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 22,9 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan mungkin melaksanakan hal-hal tak berguna.
Mari kita bandingkan dengan acara ibadah kita, juga dakwah kita. Andai shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 547 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 23 hari pertahun. Andai kita gres benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai balig), berarti kita gres menghabiskan sekitar 414 hari (=23×18 [38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan shalat hanya 1 tahun 49 hari!
Sang penulis kemudian menyela sahabat nya tadi dan berkata“Bekerja kan termasuk ibadah juga.”
Namun, segera temannya mengajukan pertanyaan retoris kepada dia:
Baik. Sekarang bagaimana kalau semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana kalau amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana kalau shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh Allah? Bagaimana pula kalau dakwah kita pun—yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan tak jarang minimalis—tak dipandang oleh Allah?
Betul. Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir kalau semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billâh. Kita memang tidak berharap mirip itu.
Di sisi lain, setiap hari, puluhan kali kita bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 23 tahun usia kita (38 tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig).
Ya,itulah yang sanggup kita jadikan renungan akan kehidupan kita. Pandai-pandailah kita untuk menghisab diri kita sebelum kelak kita di hisab oleh Allah swt di yaumil Hisab.
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa dia berkata,
"Orang yang cerdas ialah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta berinfak untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah ialah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini ialah hadits hasan’)
Siapa ingin selamat dari kehinaan dan pertanyaan (hisab) pada hari qiyamat, ia harus menghisab dirinya didunia sebelum dihisab diakhirat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Alloh, Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan". (QS. Al Hasyr [59]: 18)
Umar bin Khoththob rohh memahami makna ayat diatas dengan mendalam. Ia berkata kepada rakyatnya: "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah menghadapi hari qiyamat". (lihat, Tarikhu Umar: 201)
Oleh alasannya ialah itu, mari jadikan setiap waktu yang kita lalui, setiap tahun, bulan, minggu, hari, bahkan per detik untuk selalu mawas diri, menghitun-hitung berapa banyak amal shalih yang kita kerjakan berbanding dengan berapa banyak amal salah yang kita lakukan. Bukan malah bersorak ria dengan perayaan ulang tahun yang tidak bermakna, bahkan hakikatnya memang tidak layak untuk dirayakan Wallahu A’lam bishowab.[al-khilafah.org]

No comments:

Post a Comment