Friday, October 21, 2016

Ketika Para Sobat Bekerja Keras Dan Selalu Menangis

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Menyusuri jejak para sobat selama di Makkah, tak kuasa kita menahan air mata. Meski tapak-tapak rumah mereka, juga rumah Nabi bersama ibunda Khadijah telah rata dengan tanah, tetapi bayangan apa yang pernah mereka lalukan di daerah ini sungguh tak sanggup dihapus dengan mudah.
Pelataran Ka’bah, Hijir Ismail, Shafa, Marwa, Jabal Abi Qubais, Jabal Ajyad, Syi’b Abu Thalib, Jabal Tsur, Jabal Nur, Masjid Bai’at di Mina, Masjid Namirah, Padang Arafah, Jabal Rahmah, Masy’ar al-Haram, Muzdalifah, sampai Ji’ranah dan Hudaibiyyah ketika semuanya kita jejaki, rasanya bayangan Nabi dan para sobat seolah hadir kembali. Jejak-jejak kehidupan mereka tak kan pernah lenyap dari muka bumi, meski telah tertimbun dengan bangunan baru. Selama kita terus mengingati, menghayati dan menghadirkannya kembali. Terutama, saat-saat kita melaksanakan tafakur, ketika melaksanakan Tarwiyah di Mina, Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah dan Mina.
Terkadang saya bertanya, “Mengapa, Allah tetapkan Mina, Arafah dan Muzdalifah, atau Makkah dan Madinah sebagai daerah berhaji?” Maka, kadang terlintas jawaban, ketika saya membaca dan menghayati ayat al-Qur’an, “Inna ha’ulai yuhibbuna al-‘ajilata wa yadzaruna wara’ahum yauman tsaqila [Sesungguhnya mereka menyayangi kehidupan dunia, dan melupakan hari yang sangat berat [Hari Kiamat] di bekalang mereka].” (Q.s. al-Mursalat: 27). Hari sehabis kita dibangkitkan dari kubur itu ialah hari yang sangat berat. Allah menyebutnya dengan “Yauman Tsaqila”, dimana terik panas matahari begitu luar biasa menyengat kepala dan badan kita. Kita harus antri menunggu giliran, dimintai pertanggungjawaban oleh Allah satu per satu.
Miniatur “Yauman Tsaqila” itu kita temukan, ketika lebih dari 4 juta orang berkumpul di Mina, Arafah dan Muzdalifah, dengan terik panas yang luar biasa. Semuanya berkumpul di padang. Saat ini kita memang masih sanggup berteduh, tetapi nanti, ketika “Yauman Tsaqila” itu benar-benar kita lalu, oh.. tidak sanggup dibayangkan betapa beratnya. Maka, kita diperintahkan untuk banyak melaksanakan tafakur, merenungkan apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan dalam hidup ini untuk menghadapi “Yauman Tsaqila” itu.
Maka, ketika Khutbah Arafah, kami pun tak kuasa menahan air mata, ketika membayangkan diri kita, dengan dosa-dosa yang tak terkira, dan bagaimana kelak kita akan menghadapi “Yauman Tsaqila”. Terlebih, ketika kita membandingkan diri yang tertawan dosa ini dengan para sobat Nabi yang selalu menangis, alasannya takut kepada Allah, takut menghadapi “Yauman Tsaqila”. Bukan takut alasannya dosa mereka banyak, kata Nabi. Tetapi, takut alasannya amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Allah Akbar.
Kalau para sobat takut amal mereka tidak diterima, menciptakan mereka berhati-hati dan tidak menambah dosa, sembari terus menangisi kekurangan diri mereka, kita justru merasa aman. Seolah amal kita sudah sempurna, dan sudah diterima oleh Allah SWT. Padahal, yang menciptakan amal kita diterima oleh Allah itu, alasannya keikhlasan dan benarnya amal kita. Sementara dua hal ini sulit kita raih dengan sempurna, jikalau dibanding dengan para sobat Nabi. Belum lagi, jikalau ditambah dengan dosa-dosa kita. Anehnya, kita tetap saja sulit menangis, sebagaimana mereka selalu menangis dan bekerja keras untuk terus-menerus menyempurnakan amal perbuatan mereka.
Mereka pun sanggup mengarungi aneka macam kesulitan untuk menunaikan panggilan Allah. Begitu Allah memanggil mereka, apapun yang ada di sekitar mereka seketika mereka acuhkan, seolah tidak ada. Begitulah, bagaimana Aisyah menggambarkan Nabi, ketika mendengar panggilan adzan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Begitulah perilaku para sahabat, ketika mereka mendapat panggilan Allah. Abu Ayyub al-Anshari, meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, tetap berangkat menunaikan panggilan jihad, “Infiru khifafan wa tsiqalan..” [Berangkatlah kau dengan ringan atau berat..] (Q.s. at-Taubah: 41). Begitu juga Thalhah, sampai risikonya Allah mewafatkan mereka dalam perjalanan di jalan Allah SWT.
Para sobat yang sudah dijamin nirwana oleh Allah, melalui ekspresi mulia Nabi-Nya pun selalu menangis, dan takut, jikalau kelak amal perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Mereka takut, ketika “Yauman Tsaqila” amal yang mereka harapkan sanggup menolong mereka ternyata sia-sia. Boleh jadi, alasannya amal itu masih banyak dikotori dengan ketidakikhlasan, riya’, sum’ah dan kesombongan. Sesuatu yang sangat halus, dan begitu luar biasa lembutnya. Maka, ‘Umar pun berandai, “Laitani kuntu mansiya” [Andai saja saya dulu bukan siapa-siapa, dilupaka], ketika menjelang ajalnya tiba. Bahkan, Abu Bakar pun sempat berandai-andai menjadi burung, “Ya thairu, ma an’amaka, laitani kuntu mitslaka.” [Wahai burung, alangkah enaknya dirimu. Andai saja saya dulu menjadi menyerupai kamu.”
Semuanya itu, alasannya mereka saking takutnya menghadapi “Yauman Tsaqila”. Kita pun mestinya sama. Takut, bagaimana nasib kita ketika menghadapi “Yauman Tsaqila” itu. Maka, sebagaimana sahabat, mereka bekerja keras, sampai mereka sanggup berhaji dengan jalan kaki, dari Madinah ke Makkah, Makkah ke Madinah, tidak hanya sekali, bahkan lebih dari 20 kali. Mereka juga sanggup berperang meski terik panas, dan demam isu kemarau, kering kerontang, dengan bekal yang sangat minim, alasannya paceklik. Sebagaimana yang mereka lakukan bersama Nabi ketika Perang Tabuk, dan peperangan-peperangan lainnya. Semuanya itu untuk menjadi bekal menghadapi “Yauman Tsaqila”.
Maka, tercatat selama 10 tahun bersama Nabi, mereka pun lebih dari 79 kali berperang. Pun begitu, mereka malamnya selalu mujahadah, dan air mata mereka pun tumpah, alasannya takut amal mereka yang begitu luar biasa itu tidak diterima, dan tak cukup untuk menghadapi “Yauman Tsaqila”. Mungkin alasannya mereka paham hadits Nabi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibn al-Jauzi, “Andai saja Anak Adam sanggup mengerjakan amal perbuatan 100,000 Nabi, 100,000 orang Shiddiq dan 100,000 Syuhada’, mereka menerka itu sanggup menyelamatkan mereka dari neraka, padahal tidak.” Allah Akbar.
Semoga kita mendapat ampunan dari Allah atas dosa-dosa dan kekhilafan kita. Semoga amal kita diterima oleh Allah SWT, dan dengannya Allah menempatkan kita bersama Nabi dan para sahabatnya di dalam Jannah-Nya. Amin ya Rabbal al-Alamin.
Makkah al-Mukarramah
19 September 2016 M
17 Dzulhijjah 1437 H
Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id

No comments:

Post a Comment