Sunday, September 18, 2016

Universitas Kelas Dunia


Oleh: Dr. Ing. Fahmi Amhar
Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun anutan baru.  Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk gres 6 persen, menjadi sarjana masih menjadi harapan banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja harapan itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang menunjukkan gelar sarjana ialah perguruan tinggi yang bermutu.  Karena itu, informasi perihal kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah ia mempunyai talenta yang diperlukan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu.  Ini sebab perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari mancanegara.  Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, contohnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics.  Aspek evaluasi lainnya ialah jumlah paper internasional yang dihasilkan, perembesan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan ibarat jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan jalan masuk internet.

Para pemeringkat itu kemudian menciptakan ranking perguruan tinggi sedunia.  Terang saja, dominan 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju ibarat Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia.  Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?
Maka universitas yang paling top di dunia ketika itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya.  Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang ketika itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota Cina ketika itu atau di Nalanda, India.  Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang kemudian belum ada perguruan tinggi.  Di Amerika Serikat apa lagi.  Benua itu gres ditemukan tahun 1492.
Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah.  Berikutnya ialah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, menjiplak universitas di Baghdad dan Cordoba.  Universitas tertua di Itali ialah Universitas Bologna berdiri 1088.  Universitas Paris dan Oxford berdiri kala ke-11 sampai 12, dan sampai abad-16 buku-bukunya referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan sampai sekarang masih ada ialah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, berdasarkan Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis.  Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di masjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko.  Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” Arab di Eropa.

Universitas kedua tertua di dunia ialah al-Azhar yang mulai beroperasi semenjak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling populer ialah Hukum Islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika.  Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir ketika itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat sebab sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan anutan reinkarnasi.

Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fathimiyah digulingkan oleh Bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti.  Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan sampai 17 tahun!  Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum Muslimin di Andalusia, Al Azhar menjadi satu-satunya sentra pendidikan bagi para ulama dan intelektual Muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar bisa mandiri, lepas dari subsidi negara sebab besarnya dana wakaf dari masyarakat.  Wakafnya pun tak main-main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar dan para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri atas sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum Muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu balasannya Imam Agung Al Azhar dan para ulama setuju untuk menutup kegiatan berguru di Al Azhar sebab acara jihad fi sabilillah.  Tiga tahun sehabis pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

Karena itu, jikalau kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat.  Islam tentu mempunyai standar sendiri, ibarat apa kualitas insan yang ingin dicetak oleh sebuah universitas.  Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga mempunyai kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalihan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma'ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi Islamic University yang ingin meraih kembali taraf world-class-university ibarat di masa peradaban Islam.  Di Malaysia bahkan sudah usang berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM).  Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada ketika ini, tampaknya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika biar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam.  Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana.  Untuk itu tentu wajib ada pinjaman politik Islam yang memadai.

Namun kita tetap optimis.  Karena istilah college yang lazim digunakan di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.[]

No comments:

Post a Comment