Sunday, September 18, 2016

Anak-Anak Generasi Emas



Dr Fahmi Amhar
Ilustrasi belum dewasa Musa bin Syakir, yang semua menjadi ilmuwan cemerlang pada sebuah perangko Suriah.

Para andal kependudukan menyampaikan bahwa Indonesia akan mendapat “bonus demografi” pada tahun 2025.  Itu tatkala jumlah penduduk usia produktif pada posisi optimum, dibandingkan jumlah lansia atau anak-anak.  Tentu saja, bonus tersebut hanya sanggup diraih jikalau mereka yang ketika ini masih usia belum dewasa itu sanggup diformat menjadi generasi emas, generasi yang bertakwa, sehat, cerdas, gemar bekerja keras dan sanggup bersinergi.
Dulu khilafah Islam dalam kurun waktu yang tidak hingga satu generasi telah menjadi produsen generasi emas yang kemudian berjaya berabad-abad.  Pertanyaannya, bagaimana cara orang renta di masa itu mempersiapkan generasi-generasi cemerlang? Lalu kalau kita refleksikan, seberapa besar tugas orang renta di masa sekarang sanggup memperlihatkan suri teladan bagi anak-anaknya baik secara akhlak, moral, minat hingga kecondongan belum dewasa untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki? Bagaimana Islam memperlihatkan peranan serta instruksi bagi para keluarga khususnya di bidang sains mengingat ketika ini banyak event-event internasional di bidang sains yang dimenangi oleh tim dari Indonesia, namun ironisnya, hampir sebagian besar, didominasi oleh kalangan non-Muslim.
Di semua peradaban yang masih sederhana, keluarga selalu jadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.  Maka kualitas orang renta sangat kuat pada kualitas belum dewasa tersebut.  Mereka yang hidup dengan berburu, niscaya mengajari anak-anaknya bagaimana hidup di hutan, mencari binatang buruan, menjebak atau menjinakkannya.  Mereka yang hidup dengan bertani, niscaya mengajari anak-anaknya bagaimana bercocok tanam, menemukan tanah yang sesuai tanamannya, kapan ketika yang sempurna untuk memupuk, menyingkirkan gulma hingga memanen.  Dan mereka yang hidup dengan berdagang, niscaya semenjak dini mengajak anak-anaknya mengenal bisnis.
Pendidikan menyerupai itu tetap diteruskan di zaman Nabi.  Namun Nabi menambahkannya dengan dua hal:
Pertama, menambahkan bahwa insan diberi tugas lebih oleh Allah, yaitu untuk beribadah dan untuk mengembangkan rahmat ke seluruh alam.  Ini suatu misi insan di dunia yang tidak begitu saja muncul secara naluriah, dan harus diajarkan.  Maka generasi sahabat mulai menanamkan kesadaran misi Islam itu pada anak-anaknya.
Kedua, menanamkan bahwa umat Islam harus menjadi umat terbaik di tengah manusia.  Maka mereka harus menjadi manusia-manusia pembelajar.  Maka Rasul juga membuka dunia berguru seluas-luasnya, meminta tawanan Perang Badar mengajar belum dewasa Muslim tulis-baca, menyuruh beberapa sahabat berguru bahasa asing, bahkan mengirimkannya ke Barat dan ke Timur, hingga hingga ke Cina.
Orang-orang renta pada masa itu berusaha keras mengikuti pendidikan cara Nabi tersebut.  Mereka yang menyadari dirinya mempunyai keterbatasan, menitipkan anak-anaknya ke para sahabat yang terdekat dengan Nabi, atau bahkan ke Nabi sendiri, menyerupai contohnya terjadi pada Anas bin Malik yang dititipkan orang tuanya biar mengabdi pada Nabi, sekaligus berguru banyak hal wacana kehidupan.
Hal ini berlanjut terus di masa khilafah selanjutnya.  Orang-orang renta yang sangat peduli pendidikan, membawa anaknya untuk nyantri di kalangan para ulama dan ilmuwan.  Ada yang diserahkan Imam Malik, dan akibatnya juga menjadi imam menyerupai Imam Syafi’i.  Dan ada yang menjadi santri dari astronom Yahya bin Abi Mansur, menyerupai tiga anak yatim dari Musa bin Syakir.  Tiga anak yatim yang dikenal dengan Banu Musa ini kemudian menjadi ilmuwan-ilmuwan hebat di bidang astronomi, matematika dan mekanika.
Oleh orang tuanya, belum dewasa cemerlang itu dibiasakan semenjak kecil hidup dalam suasana shalih, jujur, selalu menentukan yang halal, juga gemar bekerja keras dan menghargai ilmu.  Syafi’i kecil atau Ibnu Sina, dan ribuan ulama dan ilmuwan lainnya, sudah hafal Quran  sebelum usia 10 tahun.
Didikan orang renta itu menambah efektif suasana lingkungan yang dibuat oleh Negara Khilafah.  Negara bertanggung jawab biar “noise” atau gangguan yang muncul di luar rumah ada di titik minimum.  Tidak ada perzinaan atau pornografi, tidak ada miras dan narkoba, juga tidak ada aktivitas-aktivitas sia-sia lainnya.  Lingkungan yang ada yakni suasana ilmu, kerja keras, dakwah dan jihad.
Di rumah tentu saja orang renta menghadapi tantangan bahwa mereka harus jadi teladan yang baik, terutama problem integritas.  Umar bin Khattab pernah tersentuh ketika mendengar seorang anak gadis yang tidak mau mengikuti perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air.  Ibunya, sang penjual susu mengatakan, toh Khalifah tidak tahu.  Tetapi anaknya membantah, sekalipun Khalifah tidak tahu, tetapi Allah tahu.  Umar segera menyuruh Ashim putranya melamar anak gadis itu.  Atsar ini menunjukkan, bahwa sekalipun orang renta kadang termakan untuk bermaksiat, tetapi suasana umum yang shalih pada waktu itu, sanggup menciptakan seorang anak tetap shalih.
Kapan peradaban Islam mencapai zaman keemasannya memang tergantung ukuran yang kita pakai.  Kalau ukurannya yakni jumlah muttaqin atau mujahidin per kapita, mungkin zaman paling emas yakni zaman Rasul.  Tetapi kalau ukurannya yakni luasnya kekuasaan, kuatnya dampak dan banyaknya karya ilmu, teknologi dan seni, maka itu tercapai di abad-2 H, atau di periode pertama dinasti Abbasiyah.  Pada ketika itulah kombinasi dan sinergi antara hasil dakwah dan jihad selama periode pertama, stabilitas politik dan keamanan, pembangunan kemudahan pendidikan oleh negara, wakaf para aghniya di bidang ilmiah dan tentu saja ketekunan para keluarga untuk memperlihatkan bibit terbaik yang akan memasuki majelis ilmu, sangat berperan di dalamnya.
Metode terbaik dalam menciptakan orang renta memperlihatkan perhatian besar pada anak-anaknya yakni menanamkan kesadaran bahwa mereka sedang membentuk calon pemimpin masa depan, generasi penakluk Konstantinopel dan Roma yang dirindukan Rasulullah sebagai orang-orang terbaik yang tidak pernah dilihat para sahabat.
Orang-orang renta Muslim di masa itu, dan juga negara khilafah di masa itu tidak mendikotomikan antara ilmu agama dengan sains.  Jelas bahwa ada hal-hal fundamental yang harus ditanamkan pada setiap anak semenjak dini, menyerupai pengetahuan dasar keislaman dan menghafalkan alquran, minat terus belajar, juga ketrampilan fisik menyerupai berenang, berkuda dan memanah.  Tetapi semenjak menjelang mereka baligh, mereka sudah sanggup menekuni banyak sekali jenis ilmu sesuai minatnya.  Maka kita lihat, sebagan besar intelektual di masa itu yakni polymath, yakni mereka yang menguasai minimal tiga bidang ilmu secara mendalam, contohnya ilmu syariah, ilmu sejarah dan matematika, atau bahkan juga ditambah geografi, kedokteran dan astronomi.
Karena itu, cara terbaik biar agar anak dan orang renta setuju menggapai kesuksesan di bidang sains, kemudian juga mau ikut berkompetisi di tingkat dunia, yakni menanamkan kesadaran, bahwa setiap Muslim yakni bab dari umat terbaik (khairu ummah), dan itu diharapkan biar ia sanggup efektif melaksanakan amar ma’ruf dan nahy munkar (QS. Ali Imran : 110).
Allah tolong-menolong mendistribusikan kecerdasan itu merata di seluruh belum dewasa yang lahir di muka bumi.  Hanya saja tidak semua beruntung mendapat mentor.  Sama menyerupai ketika Rasul mengatakan, “semua anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanya yang menyebabkan mereka yahudi, Kristen atau Majusi”.  Maka juga “semua anak lahir dalam keadaan cerdas, kritis dan kreatif, orang tuanyalah yang menyebabkan mereka bego, tumpul, dan suka mencontek”.
Kita tentu berharap, bahwa dengan terlibat dalam dakwah ideologis, kita mempunyai energi spiritual untuk berbuat lebih terhadap belum dewasa kita, sehingga mereka menjadi shaleh, dan juga menjadi generasi emas yang unggul dalam teknologi.  Islam tanpa teknologi akan terjajah.  Teknologi tanpa Islam akan menjajah.  Dan Islam yang menginspirasi dan memandu teknologi, akan membebaskan insan dari penjajahan.

No comments:

Post a Comment