Monday, July 4, 2016

Kegagalan Kebangkitan Indonesia





Berbicara wacana kebangkitan sebuah bangsa, kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu; apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri; juga sebaliknya, kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.
Pertama-tama kita bisa memakai definisi yang relatif berlaku umum.Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap mempunyai kemampuan lebih rendah, contohnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangun ialah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial-politik.
Dari sisi kualitas, bangun menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
1) Level-1: bergerak ke arah yang faktual (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
2) Level-2: melaksanakan sesuatu yang ada akibatnya (produktif), yang tidak habis sekali pakai;
3) Level-3: menawarkan sesuatu yang kontributif kepada orang banyak atau masa sesudahnya.
Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis ialah bangsa yang sepenuhnya bergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya. Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.Bahkan mungkin untuk pangan, air dan energi harus disuplai atau disubsidi bangsa lain. Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan aturan itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain. Tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasai bangsa tersebut. Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot” meski mungkin mempunyai kemajuan material yang tinggi menyerupai adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih. Namun, semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi abnormal dan manfaatnya juga paling banyak dinikmati oleh asing.
Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika beliau mulai merintis untuk mempunyai kemauan dan kemampuan sendiri guna mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut usaha kemerdekaan.Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangun tersebut?
Sebuah bangsa sanggup dikatakan telah bangun pada Level-1 ketika setelah merdeka benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin jelek dengan sebelumnya. Namun, kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku aturan rimba, maka Level-1 ini pun tidak tercapai. Baru setelah Level-1 tercapai, bangsa itu sanggup meraih Level-2 atau Level-3.
Level-2 ialah ketika kebangkitannya itu memberi dirinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan SDM cerdas berkualitas, menciptakan sendiri akomodasi produksi yang bisa menciptakan dirinya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain. Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan manfaatnya lebih untuk mereka sendiri.
Pada Level-3, mereka benar-benar sanggup menawarkan bantuan ke luar, bahkan ke masa sesudahnya. Kontribusi ini bergantung pada visi yang beliau emban; bisa positif, bisa negatif. Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia
Saat ini ada bangsa-bangsa yang statis, contohnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Prancis, Rusia atau Amerika. Irlandia Utara ialah jajahan Inggris dan Puerto Rico ialah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, faktanya bangsa itu ialah bangsa “robot”.Mereka bergantung total pada politik negara penjajahnya.
Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, contohnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris. Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap mempunyai hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, mereka tetap merasa tidak puas alasannya merasa mempunyai martabat dan impian yang berbeda. Hal yang menyerupai pernah terjadi di Nusantara ketika menjadi sebuah koloni Negeri Belanda dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.
Lalu ada bangsa-bangsa merdeka pada Level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, menyerupai Vietnam atau Malaysia. Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia sanggup dikatakan juga sedang menuju Level-1, dengan indikator bahwa semenjak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatisme di kawasan rawan konflik menyerupai di Papua. Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat; pangan atau energi masih relatif gampang diperoleh walaupun cenderung makin mahal dan utang negara semakin besar. Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya. Di jalanan aturan juga sedikit-banyak bisa berjalan walaupun ada berandal peradilan.
Namun, kebangkitan di Indonesia sanggup dikatakan gagal mencapai Level-2.Level-2 sanggup dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju menyerupai Skandinavia, Switzerland atau negara berkembang menyerupai Cina atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil menyerupai Iran atau Venezuela. Cina dan India dalam tiga dekade terakhir sanggup dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri. Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk manfaatnya sendiri. Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.
Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan Level-2, maka tentu saja gagal meraih Level-3. Level-3 ketika ini dimiliki oleh negara-negara adikuasa atau mantan adikuasa menyerupai Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan mungkin ditambah Jepang atau Jerman. Umat Islam hanya mempunyai negara pada Level-3 pada masa lalu, yakni Daulah Khilafah.
Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang gres saja merdeka menuju kebangkitan Level-3. Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak, tidak mengekor politik negara adikuasa ketika itu. Namun, fakta di lapangan, jangankan Level-3, Level-1 pun ketika itu belum tercapai. Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara ketika itu masih berkecamuk di mana-mana. Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket dan rate-pendidikan sangat rendah.
Pada masa Orde Baru, Soeharto berguru dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara bersiklus dan berkelanjutan. Soeharto bahkan membangun aneka macam industri strategis menyerupai PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb. Sayangnya, secara umum dikuasai ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang berdikari sehingga mengikuti aba-aba nyaris total dari asing. Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan aneka macam instrumen aturan yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM) serta kebijakan politik yang lebih represif. Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kongkalikong dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga Presiden. Akibatnya, kebangkitan Level-1 pun justru ditinggalkan lagi. Pada simpulan kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multidimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll, Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.
Orde Reformasi sempat menawarkan harapan. Krisis ekonomi sementara sanggup diatasi. Perang saudara sanggup diredam. Namun, liberalisasi yang membonceng reformasi justru menciptakan kebangkitan Level-1 saja semakin sulit didekati kembali. Berbagai perundangan yang dibentuk di masa reformasi justru menciptakan negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai”) investor asing.Akibatnya, kesempatan kerja makin berkurang; semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi
Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang majemuk berhasil bangun hingga ke Level-3. Amerika bangun dengan Kapitalisme. Soviet dulu bangun dengan Sosialisme. Yang membedakan hanya pada Level-3 ini bantuan menyerupai apa yang dihasilkan oleh bangsa itu. Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri. Penjajahan, eksploitasi sumberdaya alam dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris menyerupai budak menjadi hidangan sehari-hari. Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet. Sekarang Kapitalisme sedang menyebabkan Amerika diujung tanduk.
Indonesia mengklaim menyebabkan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.Namun, ada yang terlupa, bahwa Pancasila gotong royong gres sekadar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap. Karena itu, dalam praktiknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis menyerupai pada masa Orde Lama, ke arah kapitalis menyerupai pada masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal menyerupai pada masa Reformasi.
Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci memperlihatkan tak cuma wacana cita-cita, tetapi juga jalan yang terang untuk meraih impian itu, yang akan bisa mengantarkan Indonesia ke kebangkitannya, tak hanya Level-1, tetapi hingga Level-3. Ideologi menyerupai itu ada dalam Islam. Pengalaman empiris dari sejarah memperlihatkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih impian itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.
Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu hingga bisa mewujudkan umat terbaik yang bisa melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3: 110). Tugas ini memerlukan tipe-tipe manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syariah. Selanjutnya kebangkitan Level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yangkaffah dan istiqamah.
Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan kuat pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih. Karena 85% rakyat Indonesia ialah Muslim dan aneka macam survei memperlihatkan mereka masih mempunyai ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang digunakan untuk membangkitkan ialah ideologi Islam.
Inilah diam-diam mengapa kebangkitan Level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, alasannya kita lengah tidak memakai ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan. Hanya dengan ideologi Islam, tak cuma kebangkitan Level-1 yang akan kita raih, tetapi juga Level-2 dan Level-3.
Dalam konteks materialisme menyerupai pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll). Namun, dalam konteks Islam, ukuran yang standar ialah bantuan bangsa itu dalam amar makruf nahi munkar kelas dunia. Itulah kebangkitan yang kita dambakan. WalLahu a’lam. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]

No comments:

Post a Comment