Monday, July 4, 2016

Departemen Perindustrian Negara Khilafah

 Departemen Perindustrian Negara Khilafah  Departemen Perindustrian Negara Khilafah

Negara Khilafah yaitu negara yang berkewajiban mengemban misi untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode (tharîqah) dakwah dan jihad. Dengan misi agungnya ini Khilafah harus senantiasa dalam kondisi siap siaga untuk melaksanakan jihad. Untuk itu, Khilafah memerlukan pabrik-pabrik yang memproduksi industri-industri berat maupun ringan yang mendukung misi tersebut selain untuk menjauhkan Khilafah dari ketergantungan yang akan melemahkan posisi Khilafah di mata negara-negara lain.
Lalu    bagaimana Khilafah mempersiapkan semuanya? Siapa yang ditugasi untuk mengurusi bidang industry ini? Seperti apa pula kebijakannya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan Undang-Undang Dasar (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam: Pasal 74, yang berbunyi: “Departemen Perindustrian yaitu departemen yang mengurusi seluruh urusan yang berafiliasi dengan industri, baik industri berat menyerupai industri mesin dan peralatan, industri otomotiv dan transportasi, industri materi baku dan industri elektonika; maupun industri ringan, baik industri itu temasuk kepemilikan umum atau yang termasuk kepemilikan individu, tetapi mempunyai kekerabatan dengan industri militer; dan segala jenis industri, semuanya wajib dijalankan berasaskan politik perang.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20-21).
Departemen Perindustrian
Untuk memenuhi semua kebutuhan yang membantu perwujudan misi Khilafah, yaitu mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode (tharîqah) dakwah dan jihad, Khilafah membentuk struktur tersendiri untuk kiprah ini, yaitu Departemen Perindustrian. Departemen Perindustrian inilah yang mengurusi seluruh urusan yang berafiliasi dengan industri, baik industri berat menyerupai industri mesin dan peralatan, industri otomotif dan transportasi, industri materi baku dan industri elektonika; maupun industri ringan baik pabrik-pabrik yang temasuk dalam kepemilikan umum atau pabrik-pabrik yang termasuk dalam kepemilikan individu, tetapi pabrik-pabrik tersebut mempunyai kekerabatan dengan industri militer, yakni memproduksi sesuatu yang berkaitan dengan peralatan perang (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 235; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 149).
Asas Politik Perindustrian
Semua industri tersebut dengan banyak sekali jenis bentuk dan produknya harus dijalankan berasaskan politik perang (as-siyâsah al-harbiyah). Sebab, jihad dan perang memerlukan pasukan. Pasukan—agar bisa berperang—harus mempunyai persenjataan. Untuk itu, semoga sanggup terpenuhi secara memadai sampai pada tingkat yang optimal harus ada industri persenjataan di dalam negeri, khususnya industri peralatan perang, alasannya yaitu hubungannya yang begitu besar lengan berkuasa dengan acara jihad (Hizbut Tahrir,Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 235; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 149).
Agar Khilafah bisa menjadi negara maju, mempunyai kontrol dan kekuasaan atas semua problem perang dan militer, serta jauh dari imbas negara lain dalam problem tersebut, maka Khilafah harus mendirikan industri persenjataannya sendiri, dan bisa mengembangkan persenjataan sendiri. Dengan begitu Khilafah akan tetap mempunyai kendali atas dirinya sendiri untuk mengukuhkan kekuatannya. Khilafah juga harus sanggup mempunyai dan menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling besar lengan berkuasa sekalipun, apapun bentuk kecanggihan dan ketinggian terkait kemajuan perkembangan persenjataan tersebut. Dengan demikian, semua bentuk dan tingkat kecanggihan persenjataan yang dibutuhkan negara sanggup dikuasai, sampai kesudahannya bisa menggentarkan musuh-musuh negara, baik musuh yang kasatmata maupun musuh laten atau musuh dalam selimut (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 235; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 149). Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran (QS al-Anfâl [8]: 60), yang memerintahkan semoga mempersiapkan sebanyak mungkin peralatan (persenjataan) untuk melaksanakan jihad. Dengan itu, semua musuh, baik yang memusuhi dengan terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi akan menjadi gentar dan ketakutan (Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, 15/192).
Dengan semua itu, Khilafah akan sanggup mengendalikan dan memenuhi kehendaknya sendiri; Khilafah akan sanggup memproduksi sendiri persenjataan yang dibutuhkan; Khilafah akan sanggup mengembangkan dan terus mengembangkan semua bentuk persenjataan sampai bisa menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling besar lengan berkuasa sekalipun. Pada akhirnya, Khilafah akan sanggup secara kasatmata menggentarkan musuh-musuhnya, baik yang kasatmata maupun laten (musuh dalam selimut). Atas dasar inilah, Khilafah harus mendirikan industri-industri persenjataan sendiri (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 236; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 150).
Menjauhi Ketergantungan
Agar Khilafah sanggup secara kasatmata menggentarkan musuh-musuhnya, baik yang kasatmata maupun laten (musuh dalam selimut), Khilafah dihentikan menggantungkan persenjataannya dengan membeli dari negara-negara lain. Sebab, hal itu sanggup menimbulkan negara-negara pemasok senjata itu akan mendikte serta mengendalikan kehendak dan persenjataan negara, termasuk memilih perang atau tidaknya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 236; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 150).
Apalagi negara-negara yang menjual persenjataan ke negara lain tidak akan menjual semua persenjataannya, khususnya persenjataan canggih. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali disertai dengan syarat-syarat tertentu, termasuk tatacara penggunaan persenjataan yang mereka jual. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali dalam jumlah yang sesuai berdasarkan pandangannya, bukan berdasarkan undangan negara yang ingin membeli persenjataan tersebut. Hal-hal itu pulalah yang memungkinkan negara pemasok senjata mengendalikan kehendak negara pembeli persenjataan, apalagi saat negara pembeli itu sedang berada dalam situasi perang, tentu negara tersebut akan memerlukan perhiasan persenjataan, suku cadang, amunisi, dan sebagainya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 236; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 150).
Semua itu akan menimbulkan ketergantungan negara pembeli terhadap negara pemasok persenjataan semakin bertambah dan ketundukan negara tersebut pada kehendak negara pemasok juga semakin besar. Hal inilah yang menciptakan posisi negara pemasok semakin besar lengan berkuasa sehingga sanggup mengendalikan negara pembeli dan mendikte kehendaknya, khususnya saat negara tengah berada di dalam situasi perang, serta dalam kondisi yang sangat membutuhkan persenjataan dan suku cadang. Dengan semua itu, negara pembeli itu telah menggadaikan dirinya sendiri, kehendaknya, peperangannya dan institusi negaranya kepada negara yang memasok persenjataan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 236; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 150).
Wajib Mandiri
Agar Khilafah terhindar dari ketergantungan, Khilafah wajib membangun sendiri semua industri persenjataannya, dan segala hal yang diperlukan, baik peralatan maupun suku cadangnya. Semua itu tidak akan tercapai kecuali Khilafah mengadopsi (kebijakan pembangunan) industri berat. Untuk langkah pertamanya, Khilafah harus membangun pabrik-pabrik yang menghasilkan industri-industri berat, baik industri pertahanan maupun industri non-pertahanan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 237; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 107; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 151).
Khilafah juga harus mempunyai manufaktur-manufaktur yang akan memproduksi persenjataan nuklir, pesawat antariksa, rudal-rudal dengan banyak sekali jenisnya, satelit-satelit, pesawat, tank, artileri, kapal perang, kendaraan lapis baja dan anti peluru dengan banyak sekali macamnya, serta banyak sekali persenjataan baik senjata berat maupun senjata ringan. Khilafah wajib mempunyai manufaktur-manufaktur yang akan memproduksi banyak sekali peralatan, mesin-mesin dengan banyak sekali jenisnya, amunisi dan industri elektronik. Khilafah pun wajib mempunyai industri yang berkaitan dengan kepemilikan umum dan industri-industri ringan yang mempunyai kaitan dengan industri pertahanan perang. Semua itu merupakan bentuk-bentuk persiapan yang wajib dipenuhi oleh kaum Muslim, sebagaimana diperintahkan al-Quran (QS al-Anfâl [8]: 60). Kaidah fikih juga mengatakan:
مَالاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak tepat pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib.
Khilafah yaitu negara yang mengemban misi dakwah Islam dengan metode (tharîqah) dakwah dan jihad. Karena itu Khilafah akan menjadi negara yang terus-menerus dalam kondisi siap siaga untuk melaksanakan jihad. Kondisi negara yang demikian itu mengharuskan semua industri yang ada di dalam negara Khilafah, baik industri berat maupun industri ringan, dibangun dengan berpijak pada politik perang (as-siyâsah al-harbiyah). Dengan demikian, kalau dibutuhkan upaya untuk mengubah industri-industri itu menjadi industri-industri militer (pertahanan perang) dalam segala bentuknya, maka hal itu akan gampang dilakukan kapan pun Khilafah menginginkan. Karena itu seluruh industri yang dibangun di dalam Negara Khilafah harus dibangun dengan berpijak pada politik perang dan pertahanan. Artinya, semua industri, baik industri ringan maupun industri berat yang ada dalam Negara Khilafah harus dibangun di atas asas politik perang dan pertahanan. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan upaya mengubah produksinya menjadi industri yang memproduksi produk-produk militer (pertahanan perang) kapanpun negara Khilafah memerlukan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 237; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 108; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 151).
WalLâhu a’lam bish-shawâb[Muhammad Bajuri]


No comments:

Post a Comment