Penunjukan Nadiem Makarim, inovator Gojek sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengguncang kemapanan dunia pendidikan kita. Apalagi Presiden Jokowi juga meminta Nadiem untuk segera merombak kurikulum secara besar-besaran, seperti membenarkan pemeo “Ganti Menteri Ganti Kurikulum”
Lingkungan strategis yang dihadapi Nadiem memang tidak mudah. Kita berada di awal Revolusi Industri 4.0. Revolusi yang akan menyebabkan data terkumpul dengan cepat dari aneka sensor yang berada di mana-mana, termasuk yang melekat di badan kita. Tanpa kita sadari, terlebih di perkotaan, Internet of Things (IoT) ialah realitas ketika nyaris semua orang membawai telepon pintar. Data ini terkumpul menjadi Bigdata, yang kemudian dianalisis dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) untuk aneka macam pengambilan keputusan.
Dan dunia Nadiem telah menawarkan kesuksesannya memanfaatkan “teknologi 4.0” untuk menghubungkan jutaan tukang ojek, UKM penjual makanan, cleaning service, bengkel, perias, tenaga medis sampai tukang pijat pribadi ke pelanggannya. Betapa praktisnya jika kita sedang di luar kota dan tidak kenal siapapun.
Namun yang dihadapi Nadiem kini bukanlah perusahaan. Dalam batas tertentu, bisa saja guru diperlakukan menyerupai kawan Gojek. Selesai mengajar, murid memberi bintang. Guru dengan rating rendah harus mendapat diklat tambahan. Kalau sulit diperbaiki, terpaksa diputus kontraknya. Demikian juga, murid yang pembangkang sanggup juga ditolak “order”-nya. Murid dengan rating rendah tidak akan mendapat guru lagi.
Distribusi spasial guru juga bisa dimonitor. Penempatan guru diubahsuaikan dengan distribusi muridnya, menyerupai placement driver gojek ketika ada order. Guru dan Murid bahkan tidak harus mengacu ke satu sekolah tertentu secara fisik. Lembaga sekolah berada di “dunia maya”. Tempat mencar ilmu bisa di mana saja, di taman, di bengkel, di warung, di daerah ibadah, tergantung mau mencar ilmu apa? Penyedia sarana mencar ilmu menjadi kawan pendidikan berikutnya, sesudah guru dan tenaga kependidikan.
Namun hati-hati. Tidak semua kondisi perusahaan bisa diterapkan pada negara. Pendidikan ialah amanat konstitusi. Semua rakyat, sebandel apapun, dihentikan diputus kontraknya sebagai rakyat. Bahkan di penjara saja, negara tetap wajib menyediakan pendidikan untuk anak usia sekolah yang ada di sana ! Negara juga wajib menyediakan pendidikan untuk bawah umur peladang berpindah di hutan-hutan terpencil yang tidak terjangkau sinyal telepon. Mereka yang terdiskriminasi secara digital, terlebih di masa 4.0.
Ini terang bukan masalah sederhana. Benar kita menghadapi bonus demografi. Tanpa pendidikan yang bermutu, bonus itu akan sia-sia. Tetapi kita juga menghadapi gelombang revolusi industri 4.0 yang tidak bisa dihalang-halangi. Suka tidak suka, siap tidak siap, akan semakin banyak mesin pandai dengan kecerdasan buatan yang masuk ke kehidupan kita.
Kelak, akan banyak profesi mapan ketika ini yang tergantikan oleh mesin. Tidak cuma tenaga terampil di industri, bahkan profesi intelektual menyerupai penerjemah, notaris, insinyur bahkan dokter pun kemungkinan sebagian besar akan terdesak. Jutaan driver Gojek yang ketika ini tertolong dengan aplikasi Gojek, kelak juga harus dicarikan job baru, jika kendaraan nir pengemudi sudah semakin banyak.
Hanya profesi yang terkait analisis data non rutin dan kreatifitas (termasuk coding software atau apps baru) yang relatif lebih kondusif dari desakan teknologi 4.0.
Sekarang saja kita sudah melihat kemampuan Google Translate yang gratis. Tak terbayangkan kemampuannya nanti yang versi berbayar. Konon nanti kita tak perlu mengundang dosen abnormal maupun mengirim mahasiswa LPDP ke luar negeri. Kita buat sistem kemitraan saja dengan kampus-kampus top di luar negeri. Di sana, kita pasang webcam di ruang kuliah, dan mahasiswa kita bisa mengikuti kuliah itu otomatis dalam bahasa Indonesia. Mereka juga bisa bertanya dalam bahasa Indonesia, dan dosen di Luar Negeri bisa pribadi mengerti dan menjawab dalam bahasa mereka.
Tapi problem utama bukan teknologi.
Persoalan utama ialah bagaimana pendidikan ini, mengangkat peradaban kita ke depan menjadi peradaban yang lebih berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan dan berkeadilan. Ini multi kecerdasan di atas kecerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual akan tergilas oleh revolusi industri 4.0. Namun kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial tetap domain manusia.
Meski ada robot yang hafal seluruh isi kitab suci dan rangkaian ritual peribadatan, ibadah tetap harus dilakukan atau dipimpin oleh manusia. Meski ada robot yang diprogram untuk mengucapkan kata-kata cinta, tetap saja kita butuh kasih sayang dari manusia, bukan mesin. Anak-anak kita tetap butuh asah asih asuh dari orang bau tanah dan guru yang manusia. Orang bau tanah kita juga tetap butuh bakti anaknya yang manusia, bukan diwakili robot.
Jadi benar, kurikulum perlu dirombak. Birokrasi pendidikan juga perlu direformasi. Kurikulum 4.0 hanya bisa dijalankan oleh Guru 4.0 yang didukung oleh Birokrasi 4.0.
Guru 4.0 ialah guru yang paham bagaimana menyiapkan insan untuk masa industri 4.0. Guru yang tidak hanya mentransfer hafalan, tetapi menyulut api semangat cinta ilmu, menuntun mereka melayari lautan pengetahuan, dan menantang dunia dengan perilaku kritis, budaya kreatif dan solusi inovatif.
Birokrasi 4.0 ialah birokrasi yang melibatkan IoT, Bigdata dan AI. Manfaatnya: percepatan pelayanan (proactive birocracy), akurasi pelayanan (quality birocracy), dan efisiensi pelayanan (lowcost birocracy), dan penambahan hari cuti / pengurangan jam kerja - tanpa pengurangan take home pay bagi para ASN, terutama guru.
Namun sebagai menteri Nadiem tentu saja tidak mulai dari ruang hampa. Sebagai anak muda, sevisioner apapun, ia perlu mendengar dan merangkul. Banyak orang menolak teknologi alasannya ialah tak kenal. Orang juga takut perubahan yang di luar kendalinya.
Sebagai orang gres di dunia pemerintahan, Nadiem juga perlu mempelajari nomenklatur birokrasi, aneka macam regulasi yang ada, tata cara penganggaran, lika-liku ke-ASN-an, dan cara berkomunikasi dengan publik.
Semoga Nadiem bisa melalui proses ini semua tanpa kegaduhan. Dan kami yang di luar arena hanya bisa mendoakan, agar sumbang saran kami terdengar, alasannya ialah ini juga menyangkut masa depan bawah umur dan cucu-cucu kami juga.
Lingkungan strategis yang dihadapi Nadiem memang tidak mudah. Kita berada di awal Revolusi Industri 4.0. Revolusi yang akan menyebabkan data terkumpul dengan cepat dari aneka sensor yang berada di mana-mana, termasuk yang melekat di badan kita. Tanpa kita sadari, terlebih di perkotaan, Internet of Things (IoT) ialah realitas ketika nyaris semua orang membawai telepon pintar. Data ini terkumpul menjadi Bigdata, yang kemudian dianalisis dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) untuk aneka macam pengambilan keputusan.
Dan dunia Nadiem telah menawarkan kesuksesannya memanfaatkan “teknologi 4.0” untuk menghubungkan jutaan tukang ojek, UKM penjual makanan, cleaning service, bengkel, perias, tenaga medis sampai tukang pijat pribadi ke pelanggannya. Betapa praktisnya jika kita sedang di luar kota dan tidak kenal siapapun.
Namun yang dihadapi Nadiem kini bukanlah perusahaan. Dalam batas tertentu, bisa saja guru diperlakukan menyerupai kawan Gojek. Selesai mengajar, murid memberi bintang. Guru dengan rating rendah harus mendapat diklat tambahan. Kalau sulit diperbaiki, terpaksa diputus kontraknya. Demikian juga, murid yang pembangkang sanggup juga ditolak “order”-nya. Murid dengan rating rendah tidak akan mendapat guru lagi.
Distribusi spasial guru juga bisa dimonitor. Penempatan guru diubahsuaikan dengan distribusi muridnya, menyerupai placement driver gojek ketika ada order. Guru dan Murid bahkan tidak harus mengacu ke satu sekolah tertentu secara fisik. Lembaga sekolah berada di “dunia maya”. Tempat mencar ilmu bisa di mana saja, di taman, di bengkel, di warung, di daerah ibadah, tergantung mau mencar ilmu apa? Penyedia sarana mencar ilmu menjadi kawan pendidikan berikutnya, sesudah guru dan tenaga kependidikan.
Namun hati-hati. Tidak semua kondisi perusahaan bisa diterapkan pada negara. Pendidikan ialah amanat konstitusi. Semua rakyat, sebandel apapun, dihentikan diputus kontraknya sebagai rakyat. Bahkan di penjara saja, negara tetap wajib menyediakan pendidikan untuk anak usia sekolah yang ada di sana ! Negara juga wajib menyediakan pendidikan untuk bawah umur peladang berpindah di hutan-hutan terpencil yang tidak terjangkau sinyal telepon. Mereka yang terdiskriminasi secara digital, terlebih di masa 4.0.
Ini terang bukan masalah sederhana. Benar kita menghadapi bonus demografi. Tanpa pendidikan yang bermutu, bonus itu akan sia-sia. Tetapi kita juga menghadapi gelombang revolusi industri 4.0 yang tidak bisa dihalang-halangi. Suka tidak suka, siap tidak siap, akan semakin banyak mesin pandai dengan kecerdasan buatan yang masuk ke kehidupan kita.
Kelak, akan banyak profesi mapan ketika ini yang tergantikan oleh mesin. Tidak cuma tenaga terampil di industri, bahkan profesi intelektual menyerupai penerjemah, notaris, insinyur bahkan dokter pun kemungkinan sebagian besar akan terdesak. Jutaan driver Gojek yang ketika ini tertolong dengan aplikasi Gojek, kelak juga harus dicarikan job baru, jika kendaraan nir pengemudi sudah semakin banyak.
Hanya profesi yang terkait analisis data non rutin dan kreatifitas (termasuk coding software atau apps baru) yang relatif lebih kondusif dari desakan teknologi 4.0.
Sekarang saja kita sudah melihat kemampuan Google Translate yang gratis. Tak terbayangkan kemampuannya nanti yang versi berbayar. Konon nanti kita tak perlu mengundang dosen abnormal maupun mengirim mahasiswa LPDP ke luar negeri. Kita buat sistem kemitraan saja dengan kampus-kampus top di luar negeri. Di sana, kita pasang webcam di ruang kuliah, dan mahasiswa kita bisa mengikuti kuliah itu otomatis dalam bahasa Indonesia. Mereka juga bisa bertanya dalam bahasa Indonesia, dan dosen di Luar Negeri bisa pribadi mengerti dan menjawab dalam bahasa mereka.
Tapi problem utama bukan teknologi.
Persoalan utama ialah bagaimana pendidikan ini, mengangkat peradaban kita ke depan menjadi peradaban yang lebih berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan dan berkeadilan. Ini multi kecerdasan di atas kecerdasan intelektual. Kecerdasan intelektual akan tergilas oleh revolusi industri 4.0. Namun kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial tetap domain manusia.
Meski ada robot yang hafal seluruh isi kitab suci dan rangkaian ritual peribadatan, ibadah tetap harus dilakukan atau dipimpin oleh manusia. Meski ada robot yang diprogram untuk mengucapkan kata-kata cinta, tetap saja kita butuh kasih sayang dari manusia, bukan mesin. Anak-anak kita tetap butuh asah asih asuh dari orang bau tanah dan guru yang manusia. Orang bau tanah kita juga tetap butuh bakti anaknya yang manusia, bukan diwakili robot.
Jadi benar, kurikulum perlu dirombak. Birokrasi pendidikan juga perlu direformasi. Kurikulum 4.0 hanya bisa dijalankan oleh Guru 4.0 yang didukung oleh Birokrasi 4.0.
Guru 4.0 ialah guru yang paham bagaimana menyiapkan insan untuk masa industri 4.0. Guru yang tidak hanya mentransfer hafalan, tetapi menyulut api semangat cinta ilmu, menuntun mereka melayari lautan pengetahuan, dan menantang dunia dengan perilaku kritis, budaya kreatif dan solusi inovatif.
Birokrasi 4.0 ialah birokrasi yang melibatkan IoT, Bigdata dan AI. Manfaatnya: percepatan pelayanan (proactive birocracy), akurasi pelayanan (quality birocracy), dan efisiensi pelayanan (lowcost birocracy), dan penambahan hari cuti / pengurangan jam kerja - tanpa pengurangan take home pay bagi para ASN, terutama guru.
Namun sebagai menteri Nadiem tentu saja tidak mulai dari ruang hampa. Sebagai anak muda, sevisioner apapun, ia perlu mendengar dan merangkul. Banyak orang menolak teknologi alasannya ialah tak kenal. Orang juga takut perubahan yang di luar kendalinya.
Sebagai orang gres di dunia pemerintahan, Nadiem juga perlu mempelajari nomenklatur birokrasi, aneka macam regulasi yang ada, tata cara penganggaran, lika-liku ke-ASN-an, dan cara berkomunikasi dengan publik.
Semoga Nadiem bisa melalui proses ini semua tanpa kegaduhan. Dan kami yang di luar arena hanya bisa mendoakan, agar sumbang saran kami terdengar, alasannya ialah ini juga menyangkut masa depan bawah umur dan cucu-cucu kami juga.
Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie
Sumber : https://www.tintasiyasi.com
No comments:
Post a Comment