Tuesday, April 2, 2019

Dimensi Sains Isra Mi'raj


____________________________
Oleh : Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie

Ketika insiden Isra’ Mi’raj diperingati, pada umumnya para khatib menghubungkannya dengan perintah sholat.  Begitu pentingnya ibadah sholat, sehingga Rasulullah hingga dipanggil pribadi bertemu Allah di langit.

Sholat yakni pilar agama. Sedang sholat berjama’ah sanggup disebut “pilar negara”, sebab memberi pelajaran berharga model kepemimpinan dalam Islam, yang tetap relevan hingga kapanpun. Kepemimpinan Islam bukanlah diktatur (karena imam bisa diingatkan bila salah dan diganti bila batal), juga bukan demokratis (karena syarat dan rukun sholat tak bisa didiskusikan). Pemimpin dipilih oleh rakyat untuk memimpin dengan syariat dari Tuhan Yang Maha Esa. Sudah benar bahwa di konstitusi kita tidak tersurat “demokrasi” namun “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat akal dalam permusyawaratan perwakilan”.

Namun Isra’ Mi’raj sebagai sebuah perjalanan abnormal di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha di bumi yang diberkati juga mempunyai dimensi sains dan politik.

Dimensi sains sebab perjalanan Isra’ saja yang menempuh jarak kurang lebih 1250 Km pada masa itu sudah sesuatu yang tidak mungkin ditempuh dalam semalam. Memang ketika ini, dengan pesawat supersonik, perjalanan itu sanggup ditempuh 15 menit saja. Namun insiden mi’raj ke langit tentu tetap misterius.

Andaikata perjalanan pergi-pulang ke langit itu ditempuh dari ba’da Isya (sekitar pukul 20) hingga menjelang Shubuh (sekitar pukul 04), maka jarak bumi – langit yakni 4 jam.  Bila Nabi beserta malaikat jibril bergerak dengan kecepatan cahaya, maka jarak yang ditempuh gres sekitar 4.320.000.000 Km, atau gres di sekitar Planet Neptunus. Belum keluar tata surya.  Bintang terdekat Proxima Alpha Centaury ada pada jarak sekitar 4,2 tahun cahaya. Tidak mungkin dikunjungi pergi-pulang dalam semalam.

Apalagi ada hambatan Teori Relativitas Khusus. Menurut Einstein, bahan yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka akan mengalami kontraksi ukuran hingga mendekati nol, dan pada ketika yang sama massanya mendekati tak terhingga. Apakah Nabi mengalami hal itu?

Misteri ini tentu makin menantang para ilmuwan muslim untuk menjawab dengan banyak sekali teori fisika yang dikenal ketika ini.  Teori Einstein sudah terbukti ribuan kali di dunia fisika partikel, dan juga pada satelit yang mengorbit bumi 90 menit sekali sambil membawa jam atom.

Ada juga yang mencoba memahami dengan ayat 70 Surat al-Maarij, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun”, sebagai jarak ke langit yakni 50.000 tahun cahaya.  Malaikat bisa melesat dengan laju jauh di atas cahaya (Faster Than Light, FTL-Travelling).

Namun astrofisika memastikan bahwa sehari malaikat ini belum keluar dari galaksi Bimasakti. Galaksi tetangga Andromeda saja berjarak 2,5 juta tahun cahaya. Dan itu juga belum langit. Di manakah langit sebenarnya?  Batas jagad raya teramati ada pada 14 Milyar tahun cahaya!

Melihat hal ini, sains mulai berspekulasi bahwa dunia yang kita amati ini mempunyai struktur yang tidak linear. Terlalu banyak bahan gelap (“dark matter”) yang mungkin telah melengkungkan ruang dan waktu. Allah barangkali telah memasang “gerbang-gerbang langit” yang bisa menjadi jalan pintas ke lokasi yang maha jauh.  Bukankah Allah telah memberi tantangan “Hai jama`ah jin dan manusia, kalau kau sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kau tidak sanggup menembusnya melainkan dengan kekuatan” (QS 55:33). Dan relativitas waktu telah ditunjukkan dengan dongeng Ashabul Kahfi, yang ditidurkan selama 309 tahun, sementara mereka hanya merasa setengah hari.

Semua ini memang ujian keimanan. Namun bagi seorang mukmin, iman yang ideal yakni iman yang produktif.  Ada ratusan ayat suci yang menggelitik seorang muslim untuk menguak diam-diam alam.  Itulah yang diinginkan Allah ketika berfirman “Maka mengapa kalian tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, dan langit ditinggikan?“ (QS 88:17-18). Muslim generasi awal menyebabkan ayat itu wangsit untuk mempelajari biologi dan astronomi.  Kitab astronomi “Almagest” karya Ptolomeus (100-170M) pernah dijadikan “kitab tafsir” atas ayat tersebut.

Maka periode pertengahan dihiasi oleh ratusan astronom muslim, dari Al-Battani (858-929M), Al-Biruni (973-1048M), hingga Quthubuddin As Syairazy (1236–1311M). Mereka tidak hanya memastikan bulatnya bumi, juga mewariskan teknik mengukurnya, bahkan memastikan bahwa bumi bukan sentra tata surya, ratusan tahun sebelum Copernicus (1473-1543M).

Dalam teknologi, Abbas Ibn Firnas (810-887M) dari Cordoba diketahui benar-benar menciptakan alat terbang. Dia berhasil terbang dengan alat yang kita kenal sebagai gantole dan parasut. Lebih 11 periode kemudian Wright bersaudara dari Amerika menambahkan mesin padanya, dan jadilah pesawat terbang bermesin.

Pada periode pertengahan, umat Islam mempunyai keunggulan di bidang sains ketika semangat berpikir menguak diam-diam alam masih tinggi, dan iklim menyayangi sains masih hidup baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Berijtihad dalam sains masih dianggap ibadah dan amal jariyah. Dan berwakaf untuk laboratorium atau observatorium masih menjadi gengsi para aghniya.

Namun ketika acara berpikir makin diabaikan, maka ada suatu titik ketika bangsa Barat menyalip keunggulan peradaban Islam, dan kesannya penjajahan atas negeri-negeri Islam dimulai. Puncaknya yakni ketika al Aqsha di bumi yang diberkahi dijajah oleh Israel hingga hari ini.  Inilah dimensi politik dari Isra’ Mi’raj.

Oleh sebab itu, dalam memperingati Isra’ Mi’raj sudah sewajarnya kita kuatkan kembali keimanan, kemudian kita jadikan sholat berjama’ah sebagai model kepemimpinan Islam. Kemudian kita jadikan cinta sains untuk membangun ulang peradaban Islam, yang akan menjadi bekal memerdekakan bumi Islam yang terjajah.

Umat Islam tanpa sains dan teknologi terbukti gampang terjajah. Sains dan teknologi tanpa Islam cenderung menjajah. Hanya kalau umat Islam memegang kendali atas sains dan teknologi, maka mereka akan kembali merahmati alam, membebaskan dunia dari penjajahan.

No comments:

Post a Comment