Tuesday, April 30, 2019

Berjuang Sesuai Kapasitas Masing - Masing



Oleh: Ust.H.Dwi Condro Triono, M.Ag, Ph.D

Dalam bersedekah seharusnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada kapasitas kita. *Namun, menurut taklif yang dibebankan Allah kepada kita, yaitu menurut aturan syari’at yang lima: wajib, sunnah, mubah makruh dan haram.* Dan, untuk mengamalkannya-pun harus mengikuti aulawiyatnya, yaitu: *wajib harus didahulukan daripada sunnah; sunnah didahulukan daripada mubah dan seterusnya.*

Oleh karenanya, yang harus kita fikirkan ialah bagaimana biar segala kewajiban itu sanggup kita amalkan terlebih dahulu. *Sebab, kalau ada kewajiban yang masih kita tinggalkan, maka kita akan berdosa dan bisa terancam masuk neraka.*

*Masalahnya, kewajiban itu ada dua, yaitu: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.* Insya Allah, untuk fardhu ‘ain, kita sudah bisa mengamalkannya.

Contohnya, perintah Allah dalam QS. 2:183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ﴿١٨٣﴾“
Hai orang-orang yang beriman, *diwajibkan atas kau berpuasa...”.*

*Namun, bagaimana dengan firman Allah dalam QS. 2: 178:*

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾“
Hai orang-orang yang beriman, *diwajibkan atas kau qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,...”.*

*Itu ialah fardhu kifayah yang taklifnya ialah untuk seluruh orang-orang beriman.*

Artinya, setiap ada masalah pembunuhan yang tidak dieksekusi dengan aturan Islam, seluruh orang-orang yang mengaku beriman akan mendapat dosa. *Yang menjadi masalah, fardhu kifayah itu berbagai jumlahnya, masih terbengkalai, tidak diamalkan, alasannya ialah negara tidak mau menerapkan aturan syari’at.*

Setiap hari ada masalah pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, masih banyak yang meninggalkan sholat, puasa, zakat, tidak menutup aurat, dalam berekonomi lebih banyak didominasi masih bertransaksi dengan bunga/riba, dsb.

*Nah, bagaimana fardhu-fardhu kifayah itu sanggup digugurkan?* Jawabnya hanya satu: kalau sudah diamalkan oleh negara. *Bagaimana kalau negara tidak mau mengamalkan?* Maka, seluruh rakyatnya akan berdosa, yaitu dosa kifayah.

Pertanyaannya: *Mungkinkah kita bisa eksklusif masuk surga, kalau kita masih banyak bergelimpangan dengan dosa-dosa kifayah?* Disinilah kita sangat membutuhkan amal yang bisa menggugurkan dosa-dosa kifayah tersebut. Di titik inilah biasanya akan banyak muncul ikhtilaf diantara kita, sehingga masing-masing sudah merasa ikut terlibat dalam usaha penegakan Islam.

Terlebih lagi, biasanya kita cenderung enggan untuk berdiskusi dalam problem ini, dan cenderung sudah cukup hanya dengan saling menghormati, fastabiqul khairat... *ini terperinci perilaku yang kurang tepat. Justru di titik inilah kita seharusnya sangat serius dalam berdiskusi dan beradu hujjah.*

*Mengapa?* Contoh sederhana: kalau ada tetangga kita yang meninggal dunia, lalu jenazahnya kita terlantarkan, tidak ada yang memandikan, mengafani, menyolati dan menguburkan. *Siapa yang berdosa?* Tentu kaum muslimin akan berdosa.

*Apakah dosa ini bisa dihapuskan dengan memperbanyak amal yang lain, misalnya: banyak berdzikir, beristighfar, bershodaqoh, banyak megajarkan qur’an, mengajak yasinan dsb?*

*Apakah semua amal itu bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut?* *Sementara mayat itu masih terlantar di sekeliling kita?*

Jawabnya: tentu saja tidak bisa. *Sampai kapan?* Sampai mayat itu dikuburkan dengan sempurna. Selama mayat itu diterlantarkan, kalau kita masih bersedekah dengan amalan yang tidak berafiliasi eksklusif dengan kewajiban tersebut (walaupun amalan itu ada pahalanya), kita akan tetap akan mendapat dosa.

*Dosa apa?* Dosa kifayah.

Pertanyaannya: *apa amalan yang bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut?* Jawabnya sangat mudah: amalan yang eksklusif tekait dengan kewajibannya, yaitu mengurus mayat tersebut.   *Bagaimana kalau kita tidak bisa mengurus mayat itu sendirian?* Jawabnya: Kita wajib mengajak/menyeru kepada kaum muslimin biar terlibat eksklusif untuk mengurus mayat tersebut. *Bukan mengajak bersedekah yang lain, yaitu: mengajak baca qur’an, wiridan, yasinan, tahlilan dsb, sementara jenazahnya justru tetap diterlantarkan.*

*Kesimpulannya:* Jika kewajibannya ialah mengurus jenazah, maka seruannya ialah mengajak untuk mengurus jenazah. Maka, kalau kewajibannya ialah penerapan aturan syari’ah oleh penguasa, maka seruannya ialah menyeru kepada penguasa biar mau menerapkan syari’ah.

Praktis bukan? *Masalah berikutnya: apakah kita bisa menyeru penguasa, kalau kita hanya sendirian?* Disinilah kita memerlukan sebuah jamaah, biar undangan kita didengar penguasa. *Maka, bergabung dengan jamaah yang amalnya ialah menyeru penguasa biar menerapkan syari’ah dengan institusi khilafah, hukumnya menjadi wajib,* sesuai kaidah syara’:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلّاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban yang tidak sanggup terealisasi secara sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu manjadi wajib hukumnya”.

Masalah selanjutnya: *Bagaimana kalau penguasanya tetap tidak mau menerapkan syari’ah, padahal sudah kita seru/dakwahi terus menerus?* Disinilah kita bisa bersandar kepada dalil “keterpaksaan”, sbb:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (سنن ابن ماجه)

“Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) atas ummatku dari kesalahan (ketidaksengajaan), lupa dan keterpaksaan atas mereka” (HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah).

*Jika kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk mendakwahi penguasa, namun penguasa tetap enggan menerapkan syari’ah, semoga Allah berkenan mengampuni/menggugurkan dosa-dosa kifayah kita, alasannya ialah keterpaksaan atas diri kita.*

Wallahu a'lam

No comments:

Post a Comment