Sunday, October 7, 2018
Satu Dongeng Pedih Dari Palu #Islamselamatkannegeri
“Semuanya musnah, tak berbekas A!”, ungkapnya terbata-bata. Di ujung sana, terdengar bunyi isak tertahan. “Habis. Habis semua A…banyak yang korban! Terbawa gelombang tsunami!”
“Alhamdulillah saya dan istri diselamatkan Allah SWT! Padahal pada ketika insiden saya dan istri sudah menyerahkan sepenuhya kepada Allah apapun yang akan terjadi. Sesaat setelah gempa, ketika orang-berlarian menjauh dari pantai. Saya dan istri justru masuk ke dalam masjid. Sholat. Kami berdua berprinsip sekalipun kami mati. Biarlah mati dalam keadaan sedang sholat di dalam masjid.
Gempa, susul menyusul. Sebelum takbir untuk sholat Magrib, kami melihat lampu gantung di masjid berayun sangat kencang, akhir guncangan gempa. Takbir bersahutan di dalam masjid, yang diucapkan dari mulut-mulut dan jiwa penuh rasa takut. Gema keagungan nama Allah, menyelusup sepenuhnya ke dalam alirah darah. Berpadu dengan detak nadi dan degup jantung kami. Tak terasa air mata deras mengalir disela-sela dzikir takbiratul ihram. Allahu Akbar!
Saat membaca do’a iftitah, jiwa dan diri sepenuhnya diserahkan kepada Allah…Inna sholatii wannusukii wamahyayya wamamati. Lillahi robbil alamiin…. Kami khusu sholat dalam ketakutan yang teramat sangat dengan guncangan demi guncangan. Tubuh kami oleng oleh guncangan sangat keras. Kaki kami ibarat berada di atas gelombang. Terguncang sangat kencang.
Saat sholat selesai, kami menuju pintu masjid untuk keluar. Allahu Akbar…air! Dimana-mana air menerjang ke segala arah. Jeritan-jeritan ketakutan dan histeris menambah kegetiran yang terjadi ketika itu. Suara gemuruh, berderak dan gemeletak menyertai fatwa air deras. Saya pegang asisten istri saya. Bahunya saya peluk akrab di dada saya. Biarlah kami mati bersama dengan keihlasan. Sambil lisan tidak henti, bertakbir dan bertasbih. Mulut dan hati tak putus terus berdoa. Selamatkan kami ya Allah, seandainya Engkau berkehendak kami selamat. Matikanlah kami Ya Allah, seandainya itu lebih baik bagi kami. Kami ikhlas….Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allohu Akbar… bibir kami terus bertakbir. Tidak henti! Mata menatap kepada murkanya alam ketika itu!
Atas kehendak Allah, keajaiban terjadi. Gelombang besar tsunami dari pantai yang melibas dan meluluh lantakan seluruh bangunan yang dilewatinya. Anehnya, fatwa air berbelok pada ketika akan melewati masjid. Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar! Takbir kembali berkumandang bersamaan dengan keajaiban tadi. Kami yang berada di dalam masjid justru dapat selamat. Sementara, orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri ke segala arah, yang berdasarkan mereka aman. Malah terbawa gelombang air bah yang maha dahsyat. Sebuah hotel yang cukup terkenal, bahkan nyaris rata dengan tanah. Hanya tumpukan puing-puing tembok beton, dan mencuatnya besi beton yang membengkok tak beraturan! Rumah kami yang hanya berjarak ratusan meter dari pantai. Lenyap tak berbekas!
Sesaat setelah guncangan gempa pertama. Sempat menelepon Kakak di Garut, menceritakan terjadinya gempa sebelum tsunami. Namun, kekerabatan segera terputus sesaat setelah guncangan gempa berikutnya. Kini, kami terdampar di tenda pengungsian di hari kedua. Perut kamipun sudah dua hari tidak kemasukan makanan barang sesuap pun. Atas pinjaman dari relawan kami berhasil memberi kabar kepada keluarga di Garut. Bahwa, kami selamat dari bencana. Walaupun, hanya dengan baju berair yang menempel di tubuh dan belum makan selama dua hari.
Terbayang lagi insiden sebelum gempa. Pada hari Jum’at 28 September 2018 sesaat menjelang upacara pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni. Seorang Habib diundang dalam suatu program pengajian. Sang Habib menasihati kepada pemda supaya pada waktu program Festival itu jangan dilakukan upacara sesajen seperi tahun sebelumnya. Karena hal itu bertentangan dengan syari’at agama. Panitia berjanji, akan menta’ati saran dari Habib. Kemudian dinasihati juga, selama program ekspo para hadirin yang hadir untuk tidak melaksanakan perbuatan atau tindakan asusila.
Lain di lisan lain di hati, ternyata panitia pelaksana di hari H malah tetap melaksanakan upacara sesajen. Banyak santri waktu itu yang menolak dan mengingatkan panitia. Tapi, panitia tak bergeming. Para santri yang juga anggota FPI dan masyarakat muslim pun menghadap kepada Habib atas apa yang akan dilakukan oleh panitia. Habib tidak berkata apapun. Dia hanya berkata, kalian jangan mengambil tindakan apapun. Kita serahkan saja semuanya pada Allah. Ternyata benar…terjadilah apa yang berdasarkan kehendak Allah!
Mata tertuju kepada istri saya yang sedang tidur terlelap dengan bantalan terpal seadanya. Kami masih di tenda, entah hingga kapan. Pagi tadi masih sempat menelepon Kakak lagi, atas kebaikan seorang relawan FPI yang meminjamkan hapenya. Doakan kami tabah dan tetap dalam kesabaran. Tidak hingga melaksanakan penjarahan ibarat yang dilakukan sebagian kecil orang-orang yang mengatasnamakan kelaparan…
(Diceritakan kembali dari saudara kandung adik ipar, yang bercerita via handphone)
_DESS2018_
Labels:
News
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment