Friday, August 3, 2018

Hukum Vaksin Berdasarkan Amir Hizbut Tahrir


Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saudari Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai berikut:


Saya seorang wanita Chechnya yang tinggal di Belgia semenjak 14 tahun lalu, di mana banyak masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan wacana vaksinasi belum dewasa dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akhir vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini ialah dharar dan dilarang dikenakan kepada belum dewasa kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke badan anak dan ini ialah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan menyerupai monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka.
Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa aturan syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan aneka macam jenisnya? Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi belum dewasa mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya aturan syara’ yang terperinci dan berpengaruh sangat dinanti. Mohon ada klarifikasi dan uraian wacana itu, sesuai yang dapat Anda berikan. Semoga Allah memperlihatkan tanggapan yang lebih baik kepada Anda dan kaum Muslimin.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Vaksinasi ialah pengobatan. Berobat ialah mandub, bukan wajib. Dalilnya ialah sebagai berikut:
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, dia bersabda:
«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan bila obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang cerdik dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya
Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu supaya menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini ialah tawaran dan bukan wajib.
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»
Sesungguhnya Allah dikala membuat penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah
Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku tiba kepada Rasulullah saw dan para sobat dia seperti kepala mereka menyerupai burung. Lalu saya ucapkan salam kemudian saya duduk. Lalu seorang Arab Baduwi tiba dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?”” Rasul bersabda:
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
Berobatlah kalian, lantaran gotong royong Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu
Yakni kematian.
Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan usul kepada para hamba supaya berobat, lantaran Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali bila perintah yang tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang memperlihatkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:
«يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»
“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk nirwana tanpa hisab.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka ialah orang-orang yang tidak melaksanakan kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”
Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata …. (yaitu) wanita hitam ini, ia tiba kepada Nabi saw kemudian berkata:
إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»
“Aku sakit ayan dan saya tersingkap (auratku bila kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga, dan bila engkau mau saya berdoa kepada Allah supaya menyembuhkanmu.” Maka wanita itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku dikala saya kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku supaya saya tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”
Kedua hadits ini memperlihatkan bolehnya tidak berobat.
Semua itu memperlihatkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini dapat mubah atau dapat juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu ialah untuk mandub.
Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi ialah obat dan berobat ialah mandub. Namun bila terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, menyerupai bahannya rusak atau membahayakan lantaran suatu alasannya ialah tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi menyerupai ini menjadi haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri
Hanya saja kondisi ini sangat sedikit …
Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk aneka macam penyakit yang mengharuskan hal itu, menyerupai penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunkan ialah yang higienis dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.
﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾
dan apabila saya sakit, Dialah Yang menyembuhkan saya (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)
Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan ialah pecahan dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam ialah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Ini ialah nas yang bersifat umum wacana tanggungjawab negara atas kesehatan dan pengobatan, lantaran merupakan pecahan dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.
Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata:
«بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ»
Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, kemudian tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)
Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:
«مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ»
Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, kemudian Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu memberi pantangan makannan kepadaku hingga saya menghisap biji lantaran kerasnya pantangan
Rasul saw dalam kapasitas dia sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk pecahan dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang memerlukannya.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Muharram 1435
18 November 2013

diambil dari :
Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di akun Facebook Beliau
Judul asli: Realitas Vaksinasi dan Hukumnya

No comments:

Post a Comment