Wednesday, June 29, 2016

Islam Masuk Hingga Ke Dapur



Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan ialah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri.  Bagaimana Anda menilai dapur Anda ketika ini?  Type masakan apa yang secara umum dikuasai Anda siapkan?  Masakan Jawa?  Masakan Padang?  Masakan Cina?  Masakan Barat?  Atau masakan Timur Tengah?
Kalau Anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa.  Kalau Anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang.  Kalau Anda suka mie, itu Cina.  Kalau Anda suka roti dengan selai, itu Barat.  Dan jikalau Anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.
Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam?  Bukankah itu semua mubah-mubah saja?  Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – alasannya dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.
Benar.  Yang akan kita bahas kali ini memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam hingga ke dapur?  Islam membawa setidaknya empat hal hingga ke dapur:
Pertama ialah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus materi yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula.  Dengan demikian sanggup dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk kuliner tidak akan berkembang dalam dapur Islam.
Kedua ialah bahan-bahan “baru”, yakni materi kuliner yang gres berkembang sesudah sejumlah ilmuwan Muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, semenjak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.
Ketiga ialah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.
Keempat ialah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja meliputi keberagaman masakan antar etnis.
Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non Muslim.  Sebagai pola Jerman atau Perancis ketika ini sangat terkenal aneka minuman kerasnya.  Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada aktivitas studi teknik pembuatan bir.  Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri di dunia ketika ini yang tidak “dimasuki Islam”.  Islam ternyata telah masuk hingga ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.
Penyebab utamanya ialah revolusi pertanian pada selesai kurun 5 H (11 M).  Satu aspek penting revolusi ini ialah pengenalan dan penyebaran banyak sekali jenis tumbuhan gres menyerupai padi, sorghum, gandum keras (triticum durum – dipakai untuk menciptakan pasta), tebu dan banyak sekali jenis bunga, sayuran dan buah-buahan.  Adanya tumbuhan gres itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.  Al-Marqasi (awal kurun 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat.  Ibn al-Bassal menganjurkan semoga pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.  Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan banyak sekali tumbuhan gres tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.  Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.
Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu inovasi alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.
Sebagai materi pangan utama, padi berada pada posisi kedua sesudah gandum.  Padi ialah salah satu flora yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.  Roti-beras telah meringankan problem ekonomi yang muncul di banyak sekali daerah.
Ada banyak sekali jenis roti yang dibentuk di negeri-negeri Islam.  Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar dua belas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.  Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibentuk dari gandum serta dibakar dengan cara sederhana.
Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang menciptakan campuran roti di rumah kemudian membawanya ke toko roti untuk dibakar.  Tukang roti diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya semoga konsumen terlindungi.
Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan dan penyebarannya berutang banyak pada peradaban Islam.  Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi belum menjadi materi kuliner di masa pra-Islam.  Literatur Barat sebelum kurun ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula.  Hingga kurun pertengahan, materi pelengkap yang dipakai di Eropa ialah madu.
Dari semua jenis kuliner di kurun pertengahan, gula ialah satu-satunya materi yang membutuhkan proses kimia.  Pembuatan gula membutuhkan kecakapan teknologi tinggi, baik pada ketika penanaman tebu maupun proses pembuatannya.  Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan semenjak awal negara memainkan tugas utama dalam perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula.  Dalam kitab Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab  dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai perkebunan tebu di banyak sekali negeri Islam.  Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina.  Kali ini bukan “belajarlah hingga ke negeri Cina”, tetapi “mengajarlah hingga ke negeri Cina”.  Menurut Marco Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan memakai bubuk kayu bakar.
Selama kurun ke-4 dan ke-10 H (ke-10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku masakan (tabikh).  Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.  Dari buku-buku itu sanggup dipelajari banyak sekali jenis sajian utama yang disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negeri-negeri Muslim yang lain.  Kitab At-Tabikh yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep masakan di Baghdad.  Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang sanggup dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18 sajian sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 sajian sederhana, banyak sekali masakan ayam, 9 kuliner ringan bagus kering dan bakar, 11 sajian buah-buahan dan kuliner ringan bagus pastel, 5 sajian ikan segar, 4 sajian ikan asin, 3 sajian tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan sajian berselai lainnya, 9 halwa atau kuliner ringan bagus manis, 10 mutabbaq (sejenis kuliner ringan bagus dadar), dan qataif (sejenis donat).  Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan pembagian terstruktur mengenai perlengkapan dapur dan diakhiri dengan etika di meja makan.
Pengawetan kuliner juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan Muslim.  Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan, proteksi cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan dengan bumbu.  Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan kuliner dalam buku-buku mereka.  Es-es pada demam isu masbodoh disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.
Kalau kini banyak kuliner tiruan menyerupai daging vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang lalu.  Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi menyebutkan cara-cara menciptakan sajian daging yang dibentuk tanpa daging, telor dadar yang dibentuk tanpa telor, kuliner ringan bagus beras tanpa beras dan kuliner ringan bagus halwa tanpa madu/gula.  Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) menciptakan satu kepingan khusus wacana diam-diam para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun kuliner yang dimasak tanpa sedikit peniruan.  Itulah gunanya para muhtasib juga mempunyai ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya. (Dr. Fahmi Amhar)

No comments:

Post a Comment