Kehidupan ketika ini sedang terguncang. Saat ini kita memerlu-kan model kehidupan yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelah Komunisme hancur dan Kapitalisme sedang sakaratul maut, satu-satunya alternatif yakni kembalinya peradaban Islam.
Secara historis, peradaban Islam merupakan peradaban yang melebihi peradaban lain. Peradaban Islam memimpin dunia selama 12 abad. Bandingkan dengan Uni Sovyet dengan ideologi Komunismenya yang hanya berkuasa 84 tahun; juga AS dan Barat dengan ideologi Kapitalismenya yang sudah sekarat sekalipun gres 1,5 abad.
Secara, syar’i Khilafah sebagai wujud kepemimpinan Islam untuk membangkitkan peradaban insan sudah menjadi opini mulai dari Timur hingga Barat. Barat pun mengetahui hal ini. Mantan Presiden AS George Bush menyampaikan dengan nada sinis bahwa orang-orang yang hendak mewujudkan kembali Khilafah sebagai orang-orang yang ingin: “…establish a violent political utopia across the Middle East, which they call Khilafah, where all would be ruled according to their hateful ideology… This Khilafah would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East and Southeast Asia.”1
Pada faktanya, sejarah justru mencatat bahwa apa yang ia sebut sebagai ‘a totalitarian Islamic empire’ merupakan peradaban yang memimpin dunia selama belasan abad.
Peradaban Emas di Bawah Naungan Khilafah
1. Kesejahteraan.
Umar bin al-Khaththab ra., ketika menjadi khalifah, memperlihatkan pertolongan dari Baitul Mal untuk membantu masyarakat yang terjangkit penyakit lepra di jalan menuju Syam. Khalifah Walid bin Abdul Malik secara khusus menyisihkan pertolongan kepada masyarakat yang terkena penyakit lepra. Tindakan serupa dilakukan oleh para khalifah dan wali (gubernur). Bani Ibnu Thulun di Mesir mempunyai masjid yang dilengkapi dengan tempat mencuci tangan, lemari penyimpan obat-obatan dan minuman dan dokter yang mengobati secara gratis.2
Perdagangan pun berkembang. Berbagai komoditi peralatan militer, gula, tekstil, dan kertas diekspor dari Khilafah. Industri tekstil utama terdiri dari wol, sutra, katun, dan linen. Industri tekstil ketika itu laksana industri kendaraan bermotor dan handphone pada ketika ini. Industri besi dan beling juga berkembang. Gordon (2005) menggambarkan hal ini: “…growth of regional and trans-regional trade, and of urban manufacturing, produced new level of prosperity across the city landscape.”3
Najeebabadi (2001) mengungkapkan bahwa pada masa Khilafah Harun al-Rasyid, surplus anggaran negara sebesar 900 juta dinar emas.4 Pada ketika sekarang, nilai ini setara dengan Rp 1.912,5 triliun (asumsi harga emas Rp 500.000/gram). Ini jumlah yang luar biasa. APBN Indonesia tahun 2013 saja sebesar Rp 1.683 triliun.
Kesejahteraan ini bukan hanya dinikmati oleh Muslim, melainkan juga oleh non-Muslim. Bloom and Blair menggambarkan betapa tinggi standar hidup warga Khilafah dengan mengatakan: “In the Islamic lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life. They dressed in fine clothing, had fine houses in splendid cities serviced by paved streets, running water and sewers, and dined on spiced delicacies served on Chinese porcelains.”
Kualitas kehidupan di kota Kairo digambarkan dengan narasi indah: “In the midst of the houses in New Cairo are gardens and orchards watered by wells. In the sultan’s harem are the most beautiful gardens imaginable. Waterwheels have been constructed to irrigate these gardens. There are trees planted and pleasure parks built even on roofs…These houses are so magnificent and fine that you would think that they were made of jewel…”5
2. Pendidikan.
Sepanjang perjalanan Khilafah pendidikan mendapatkan perhatian besar.
Pada masa kekhilafahan perguruan tinggi Islam dilengkapi dengan diwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama pelajar/mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Sekolah-sekolah itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, ruang makan, dan taman rekreasi. Di antara perguruan tinggi terpenting yakni Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah an-Nashiriyah di Kairo. Madrasah al-Mustanshiriyah, misalnya, didirikan oleh Khalifah al-Mustanir pada kurun ke-6 Hijriah. Sekolah ini mempunyai auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi oleh banyak sekali buku untuk keperluan berguru mengajar. Sekolah ini juga dilengkapi dengan pemandian dan rumah sakit. Ad-Dimsyaqi mengisahkan dari al-Wadliyah bin Ataha’ bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memperlihatkan honor kepada tiga orang guru yang mengajar belum dewasa di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan (dengan perkiraan 1 gram emas seharga Rp 500.000), honor mereka sebesar Rp 31.875.000.
Islam tidak menciptakan dikotomi antara sains teknologi dengan ilmu akhirat. Khilafah banyak mengeluarkan investasi untuk pendidikan dan penelitian. Institusi-institusi tertinggi (dikenal: madrasah) didirikan semenjak kurun ke-11 di semua kota besar. Kurikulum meliputi ilmu-ilmu Islam wacana al-Quran dan hadis, sebagai dasar bagi ilmu-ilmu alam menyerupai matematika, kedokteran, geometri, astronomi, seni dan bahasa Arab. Para alumninya banyak berkarir dalam profesi bermacam-macam termasuk guru, dosen, dan posisi pemerintahan. Hal ini menimbulkan Khilafah bisa menghasilkan banyak pribadi-pribadi besar dan kemajuan ilmu. Banyak inovasi diperoleh pada masa Khilafah. Armstrong (2002) mencatat,“Muslim scholars made more scientific discoveries during this time than in the whole of previously recorded history.”6
Di antara para ilmuwan besar yang dilahirkan Khilafah yakni al-Khawarizmi (matematika), Ibn al-Haitsam (“Bapak Optik”), Ibn al-Nafis (fisikawan), Ibn Sina (fisikawan/kedokteran), Ibnu Hazm (filosof), Ibn Khaldun (sejarahwan dan sosiolog), al-Ghazzali (teolois), Jabir Ibnu Hayyan (“Bapak Kimia) dan ar-Razi (ahli kimia). Banyak lagi para ilmuwan besar lainnya yang lahir pada masa Khilafah. Ilmu pengetahuan yang disumbangkan oleh Khilafah melalui para ilmuwannya bukan sekadar bermanfaat bagi warganya, melainkan juga bagi seluruh dunia. Tidak mengherankan apabila Wiet (1971) menyatakan: “People of the west should publicly express their gratitude to the scholars of the Abbasid period, who were known and appreciated in Europe during the Middle Ages.”7
3. Non-Muslim Dilindungi.
Non-Muslim yang menjadi warga Khilafah dilindungi. Pernah ada insiden tindak kezaliman yang dilakukan oleh anak gubernur, Amru bin Ash, di Mesir pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Khalifah Umar segera memanggil Gubernur dan anaknya. Dalam persidangan, anak Gubernur mengaku bahwa ia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani. Sesuai dengan aturan program pidana Islam, Khalifah memperlihatkan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah mendapatkan ganti rugi (diyat) atas kezaliman tersebut. Anak Qibthi itu memilih qishash. Setelah pelaksanaan hukumqishash itu, Khalifah Umar mengatakan, “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu lantaran dia anak gubernur. Oleh lantaran itu, cambuk saja gubernur itu sekalian!” Namun, anak Qibthi tadi menolaknya. Ia pun menyatakan kepuasannya dengan keadilan aturan Islam yang dia peroleh. Khalifah Umar pun berkomentar, “Hai Amru, semenjak kapan engkau memperbudak anak insan yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”8
Pada masa Kekhalifahan Ali k.w., ia pernah kehilangan baju besi sepulangnya dari Perang Shiffin. Tidak usang kemudian ia menemukan baju besinya ada di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah (non-Muslim yang menjadi warga Khilafah). Ringkas cerita, terjadilah peradilan masalah tersebut dengan hakimnya Qadhi Syuraih. Karena tidak cukup bukti, hakim pun memutuskan bahwa Yahudi tersebut berada di pihak yang benar. Khalifah Ali divonis keliru. Ali k.w. mendapatkan keputusan tersebut. Setelah jatuh vonis, sang Yahudi itu berkata, “Duhai Amirul Mukminin, Anda berperkara dengan aku. Ternyata, hakim yang engkau angkat memenangkan aku. Sungguh, saya bersaksi, ini yakni kebenaran, dan saya bersaksi La ilaha illalLah Mumammadu rasululLah.”9
Di Mesir, warga Khilafah yang beragama Nasrani dari suku Koptik banyak bekerja dalam bidang jasa keuangan. Adapun warga Khilafah beragama Yahudi secara umum bekerja dalam profesi kesehatan dan kedokteran. Hubungan antarumat beragama pada masa Khilafah terjalin harmoni. Secara ringkas, Hourani (2005) mengutip ath-Tahabari mengatakan: “Relations between Muslims and Jews in Umayyad Spain, and the Muslims and the Nestorian Christians in Abbasid Baghdad, were close and easy.”10
4. Negeri Muslim Bersatu.
Umat Islam merupakan satu kesatuan. Pengikatnya yakni keyakinan Islam. Rasulullah saw., “Seorang Muslim yakni saudara Muslim yang lain.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, ketika ini kaum Muslim terpecah-belah. Apa yang diderita Muslim di Rohingnya dan Palestina, misalnya, dianggap bukan duduk kasus umat Islam lain. Pada masa Khilafah, umat Islam seluruh dunia disatukan.
Sepeninggal Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dari kalangan para sahabat meluaskan daerahnya hingga meliputi seluruh Jazirah Arab. Penyebaran Islam terus berkembang.
Pada masa Kekhilafahan Umayah umat Islam tersebar hingga Asia Tengah, Cina, Afrika Utara dan Andalusia. Pada masa Umayah juga umat Islam hingga ke Kaukasus, Maroko, Sisilia, dan Spanyol sebelah Barat. Di Timur, umat Islam terus tersebar ke Bukhara, Samarkand, Khawarism, Farghana, Taskent, hingga perbatasan Tiongkok. Pada masa ini pula Islam hingga ke Indonesia. Sunanto (2005) menyatakan bahwa berdasarkan sumber-sumber Cina, menjelang selesai perempatan ketiga kurun 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera.11 Rabbih sebagaimana dikutip oleh Azra (2005) mencatat bahwa pada tahun 100H (718M) Raja Sriwijaya berjulukan Srindrawarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhilafahan Umayah meminta dikirim da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.12
Luasnya wilayah kekuasaan Islam terus berkembang hingga berakhirnya era kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1924 M. Umat Islam yang tersebar dalam tempat yang meliputi dua pertiga dunia ini disatukan dalam satu akidah. Mereka menyatu dalam kepemimpinan Khalifah. Hal ini menegaskan bahwa Khilafah merupakan institusi yang sanggup mewujudkan kesatuan umat secara nyata.
Khilafah: Wajib dan Perlu
Kewajiban menegakkan Khilafah merupakan perkara syar’i yang sudah diketahui lantaran urgensitasnya (ma’lum[un] min ad-dini bi adh-dharurah). Allah SWT telah memerin-tahkan Rasulullah saw. untuk memperlihatkan keputusan aturan di antara kaum Muslim dengan syariah yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48). Perintah ini pun berlaku untuk kaum Muslim. Perintah untuk menegakkan syariah Islam tidak akan tepat kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah). Begitu juga banyak aturan yang tidak terealisasi tanpa adanya khalifah. Misalnya, ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), had bagi pelaku zina (QS an-Nur [24]: 2), dan had bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38) mustahil dilaksanakan tanpa adanya khalifah. Jadi, ayat-ayat di atas hakikatnya yakni dalil wacana wajibnya mengangkat seorang imam (khalifah) yang menegakkan syariah Islam itu.13
Banyaknya problematika yang tak kunjung selesai menyerupai pencaplokan kekayaan alam oleh asing, pembunuhan kaum Muslim, penjajahan negeri-negeri Muslim, dan sebagainya yang tidak kunjung usai juga memperlihatkan perlunya Khilafah. Selain itu, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَةً
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka matinya yakni (laksana) mati jahiliah(HR Muslim).
Makna hadis ini menegaskan bahwa baiat itu wajib hukumnya. Padahal baiat itu hanya ada kalau ada baiat kepada seorang imam (khalifah). Konsekuensinya, hadis ini memperlihatkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.14
Kini, kaum Muslim yang berjumlah 1,6 jiwa di dunia wajib mengangkat seorang khalifah. Keempat mazhab Ahlus Sunnah memandang wajib adanya Khilafah. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm menyatakan, “Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad] rahimahumullah, telah setuju bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum Muslim itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga setuju bahwa kaum Muslim dalam waktu yang sama di seluruh dunia, dihentikan mempunyai dua imam, baik keduanya setuju atau bertentangan.”15
Empat Pilar Khilafah
Khilafah merupakan sistem yang unik; bukan demokrasi, bukan pula teokrasi. Khilafah menghasilkan sistem hidup yang khas yang didasarkan pada empat pilar.16 Pertama: kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdatu li asy-syar’iy). Hukum itu hanyalah milik Allah (TQS Yusuf [12]: 40). Kedua: kekuasaan di tangan umat (as-sulthânu lil ummah). Artinya, pemimpin hanyalah yang dipilih oleh umat untuk menerapkan syariah. Ketiga: hak tabanni atau adopsi aturan berada di tangan khalifah. Dalam perkara-perkara individual, aturan diserahkan kepada hasil ijtihad para mujtahid. Perbedaan pendapat dijamin. Adapun dalam masalah sistem (sosial, politik, ekonomi), khalifah mengambil salah satu pendapat terkuat di antara pendapat para mujtahid yang telah digali dari sumber-sumber aturan Islam. Hukum Islam yang diadopsi oleh khalifah inilah yang berlaku di tengah masyarakat. Keempat: kaum Muslim mengangkat hanya satu orang khalifah untuk seluruh dunia. Dengan demikian, umat Islam benar-benar menjadi umat yang satu (ummah wâhidah).
Kesimpulan
Khilafah pernah memimpin dunia di segala bidang, termasuk sains, intelektual, dan keislaman itu sendiri. Kegagalan Kapitalisme ketika ini hanya sanggup diperbaiki dengan tegaknya Khilafah. [sumber: Makalah JICMI 2013] [Dr. M. Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]
Catatan kaki:
1 George W Bush, “President Bush Delivers Remarks on the War on Terror,” accessed viahttps://mudahcoreldraw.blogspot.com//search?q=.
2 Al-Badri AA. 1998. Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam. Gema Insani Press, hlm. 44.
3 Gordon MS. 2005. The Rise of Islam. Greenwood Press. London. 2005, hlm. 52.
4 Najeebabadi AS. 2001. The History of Islam. Darussalam Publications. Riyadh. Vol-II, hlm. 375 (Diterjemahkan oleh Abdullah AR dan Salafi MT).
5 Bloom J dan Blair S. 2002. Islam – A thousand years of faith and power. Yale University Press. London, hlm. 97-98.
6 Armstrong K. 2002. Islam – A Short History. Phoenix. London, hlm. 47.
7 Wiet G. 1971. “Baghdad: Metropolis of the Abbasid Caliphate.” University of Oklahoma Press. Diakses melalui http://www.fordham.edu/halsall/med/wiet.html
8 Ibnu al-Jauziy. 1998. Manaqib Amir al-Mukminin Umar Ibn al-Khaththab. Dar Ibn al-Khaldun, hlm. 97-98.
9 As-Suyuthi. 2005. Tarikh al-Khulafa. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut, hlm. 146.
10 Hourani A. 2005. A History of the Arab Peoples. Faber & Faber. London, hlm. 33.
11 Sunanto M. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Rajawali Press, hlm. 8-9.
12 Azra A. 2005. Jaringan Ulama. Prenada Media. Cet. II, hlm. 27-29.
13 Ad Dumaiji AU. 1987. Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Tanpa penerbit. Kairo, hlm. 50-51.
14 Ibid, hlm. 52.
15 Ibnu Hazm. Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa‘ wan Nihal. Jilid 4, hlm. 78.
16 Al-Khalidi MAM. 1980. Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam. Darul Buhuts Al Ilmiyah. Beirut. Kitab ini merupakan pendetailan dari pandangan Hizbut Tahrir yang terdapat dalam kitab-kitabnya, sepertiNizham al-Hukm fi al-Islam
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/
No comments:
Post a Comment