Saturday, January 25, 2020

Jilbab Wajib, Tak Ada Ikhtilaf





Kewajiban berjilbab bagi Muslimah—yang telah disepakati di kalangan para ulama mu’tabar—kembali dipersoalkan. Kelompok yang menolak kewajiban ini menuding kaum Muslim salah dalam menafsirkan ayat perihal jilbab. “Terlalu tekstual, tidak kontekstual,” kata mereka. Untuk memperkuat penolakan mereka atas kewajiban berjilbab bagi Muslimah ini, mereka kemudian menyodorkan realita bahwa di Indonesia banyak tokoh Muslimah yang juga tak berjilbab. Karena itu, simpul mereka, berjilbab untuk para Muslimah tidak wajib. Benarkah demikian?

Wajib Menutup Aurat

Dalam pedoman Islam berlaku kewajiban menutup aurat bagi laki-laki dan wanita. Batasan aurat pada tubuh laki-laki dan perempuan berdasarkan Islam di antaranya dijelaskan oleh Muhammad bin Ahmad asy-Syasyiy, "Aurat laki-laki yakni antara sentra (pusar) dan lutut. Lutut dan pusar bukanlah termasuk aurat.  Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Malik dalam sebuah riwayat dari Ahmad.  Sebagian golongan dari kami berpendapat, pusar dan lutut termasuk aurat. Adapun aurat perempuan yakni seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan." (Asy-Syasyiy, Haliyat al-'Ulama, 2/53).

Kewajiban menutup aurat dan tidak melihat aurat orang lain diperintahkan Nabi saw. Di antaranya berdasarkan sabda beliau:



لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya. Jangan pula seorang perempuan melihat aurat perempuan lainnya (HR Muslim).

Batasan aurat perempuan didasarkan pada firman Allah SWT berikut:



وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا...

Katakanlah kepada perempuan yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan pelengkap mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka… (TQS an-Nur [24]: 31).

Ibnu Abbas ra. menyatakan yang dimaksud dengan frasa illa mâ zhahara minha dalam ayat di atas yakni muka dan telapak tangan. Imam ath-Thabari juga menyatakan, “Pendapat yang paling besar lengan berkuasa dalam problem ini yakni pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak (pada wanita) yakni muka dan telapak tangan.” (Imam Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, XVIII/94).

Menurut Imam al-Nasafi, yang dimaksud dengan "az-zinah" (perhiasan) di sini yakni "mawadhi' az-zinah" (tempat perhiasan). Artinya, ayat di atas bermakna, "Janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menngenakan perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan dan dua mata kaki.” (An-Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil, 2/411).

Batasan aurat perempuan juga didasarkan pada hadis Nabi saw. dari ‘Aisyah ra. bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah saw. dengan menggunakan pakaian yang tipis (transparan). Rasulullah saw. pun berpaling dari dia dan bersabda:



يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Asma’, sungguh seorang perempuan itu, jikalau sudah haidh (sudah balig), dilarang terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan ia (HR Abu Dawud).

Berdasarkan hadis ini, Az-Zarqani berkata, “Aurat perempuan di depan lelaki Muslim ajnabi (non-mahram) yakni seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176).

Selain itu, banyak riwayat sahih yang menawarkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan memang biasa tampak dari perempuan pada masa Rasul, yakni dikala turunnya ayat tersebut. Ketika para perempuan itu bertemu dan berbicara dengan Rasul saw. Beliau pun mendiamkan fakta menyerupai itu.

Pendapat resmi Nahdlatul Ulama (NU) sendiri sanggup dilacak antara lain dalam Ahkam al-Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’ (Kumpulan Masalah-masalah Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15). Buku ini diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra Semarang. Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.

Di dalam buku tersebut pada juz kedua (halaman 8-9), yang berisi hasil keputusan Muktamar NU ke-8 yang diadakan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H, tercantum fatwa yang merupakan tanggapan pertanyaan yang berasal dari Surabaya, “Bagaimana hukumnya perempuan yang keluar untuk bekerja dengan terbuka wajah dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh?” Dijawab sebagai berikut:



يحرم خروجها لذلك بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.

Haram perempuan keluar untuk tujuan demikian berdasarkan pendapat yang mu’tamad. Menurut pendapat lain boleh perempuan keluar untuk jual-beli dengan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. Menurut Mazhab Hanafi, yang demikian boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata kaki, ed.) jikalau tidak ada fitnah.

Kemudian dalam fatwa tersebut dinukil keterangan dari kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idhah antara lain sebagai berikut:



(وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا) بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي اْلأَصَحِّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ. وَذِرَاعُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ فِيْ ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ وَهُوَ اْلأَصَحُّ...

Menurut pendapat yang paling sahih dan terpilih, seluruh anggota tubuh perempuan merdeka itu aurat, kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik penggalan dalam ataupun luarnya. Demikian pula lengannya, termasuk aurat. Ini yakni pendapat yang paling sahih… (Hasan asy-Syaranbilali al-Hanafi, Maraq al-Falah Syarah Nur al-Idhah. Mesir: Musthafa al-Halabi, 1366 H/1947), hlm. 45).

Juga dinukil keterangan dari Kitab Bajuri Hasyiah Fathul Qarib antara lain sebagai berikut:



...وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِمَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِي الْمِنْهَاجِ وَغَيْرِهِ إِلَى أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ...وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ، وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِي...

…Ungkapan tersebut meliputi wajah dan kedua telapak tangannya. Karena itu haram melihat keduanya walaupun tanpa syahwat atau khawatir timbulnya fitnah, berdasarkan pendapat al-sahih menyerupai yang tertera dalam kitab Al-Minhaj dan lainnya. Pendapat lain menyatakan tidak haram…Pendapat pertama (haram) yakni pendapat yang mu’tamad, tetapi tidak apa-apa (boleh) mengikuti pendapat kedua (tidak haram)… (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri. Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th., II/97).

Fatwa resmi NU di atas sekaligus membantah pernyataan Nadirsyah Hosen, yang notabene Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, yang membuka peluang perbedaan pendapat yang terlalu jauh sehingga—dengan pendekatan hajat dan adat—seolah-olah untuk konteks Indonesia, Autralia dan negeri-negeri lain dimungkinkan rambut, leher dan indera pendengaran perempuan Muslimah untuk terbuka  (Lihat: https://nadirhosen.net/tsaqofah/syariah/kecuali-yang-biasa-tampak-memahami-kontroversi-ayat-jilbab).

Kewajiban Jilbab dan Kerudung

Wanita Muslimah wajib berjilbab dan berkerudung berlaku manakala keluar dari rumah menuju kehidupan umum. Jilbab berbeda dengan kerudung (khimar).

Kewajiban mengenakan khimar didasarkan pada QS an-Nur [24] ayat 31 di atas. Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisan al-'Arab: Al-Khimar li al-mar’ah: an-nashif  (khimar bagi perempuan yakni an-nashif [penutup kepala]).  Menurut Imam Ali ash-Shabuni, khimar (kerudung) yakni ghitha' ar-ra'si 'ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) semoga leher dan dadanya tidak tampak.

Adapun kewajiban berjilbab bagi Muslimah ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT:



يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ...

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, bawah umur perempuanmu dan istri-istri kaum Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…" (TQS al-Ahzab [33]: 59).

Di dalam Kamus Al-Muhith dinyatakan, jilbab itu menyerupai sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi perempuan selain baju kurung atau kain apa saja yang sanggup menutup pakaian kesehariannya menyerupai halnya baju kurung.  Dalam Kamus Ash-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, "Jilbab yakni kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula'ah (baju kurung/gamis)."

Kewajiban berjilbab bagi Muslimah ini juga diperkuat oleh riwayat Ummu ‘Athiyyah yang berkata: Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum Muslim dan doa mereka. Namun, wanita-wanita haid harus menjauhi kawasan shalat mereka. Seorang perempuan bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang perempuan di antara kami tidak mempunyai jilbab (bolehkan dia keluar)?” Lalu Rasul saw. bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk digunakan perempuan tersebut.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Andaikan berjilbab bagi Muslimah tidak wajib, pasti Nabi saw. akan mengizinkan kaum Muslimah keluar dari rumah mereka tanpa perlu berjilbab. Hadis ini pun menegaskan kewajiban berjilbab bagi para Muslimah. []



—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa yang berkata perihal Kitabullah tanpa ilmu, siapkanlah kawasan duduknya dari api neraka.

(HR at-Tirmidzi). []

—*—

Sumber:

Buletin Kaffah, No. 125, 28 Jumada al-Ula, 1441 H-24 Januari 2020 M

Download File PDF:
http://bit.ly/kaffah125

No comments:

Post a Comment